Wednesday, December 14, 2011

Sistem Demokrasi dan Pemimpin Batak

Dalihan Natolu System Demokrasi Versi Batak

Dalihan Natolu sebagai system kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama, ‘3 POSISI PENTING’ dalam kekerabatan orang Batak yang terdiri dari :

  1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri. Relasinya disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri. “Hula-Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. Dasar utama dari filosofi ini adalah bahwa dari fihak marga istri lah seseorang memperoleh “berkat” yang sangat didominasi oleh peran seorang istri dalam keluarga. Berkat hagabeon berupa garis keturunan, hamoraon karena kemampuan dan kemauan istri dalam mengelola keuangan bahkan tidak jarang lebih ulet dari suaminya, dan dalam hasangapon pun peran itu tidak kurang pentingnya. Somba marhulal-hula supaya dapat berkat.
  2. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru Hombing adalah anak perempuan dari marga Sihombing. Prinsip hubungan nya adalah ELEK MARBORU artinya harus dapat merangkul boru/sabar dan tanggap. Dalam kesehariannya, Boru bertugas untuk mendukung/membantu bahkan merupakan tangan kanan dari Hula-hula dalam melakukan suatu kegiatan. Sangat diingat oleh filosofi ELEK MARBORU, bahwa kedudukan “di bawah” tidak merupakan garis komando, tetapi harus dengan merangkul mengambil hati dari Boru - nya
  3. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga .Prinsip Hubungannya adalah MANAT MARDONGAN TUBU, artinya HATI-HATI menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat.Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

Namun ada beberapa hal negatif dari budaya batak yang harus kita tinggalkan, misalnya budaya banyak bicara sedikit bekerja. Memang orang batak terkenal pintar berbicara. Hal ini terlihat dari banyaknya pengacara-pengacara batak yang sukses. Akan tetapi kepintaran berbicara ini sering disalahgunakan untuk membolak-balikan fakta. Yang hitam bisa jadi putih dan yang putih bisa jadi hitam ditangan pengacara batak (walaupun tidak semua). Hal lain yang negatif adalah budaya “HoTeL”. HoTeL adalah singkatan dari: Hosom yang artinya dendam. Konon orang batak suka mendendam sesama saudara. Teal yang artinya sombong, yang dapat terlihat dari cara bicara, sikap hidup, dan lain-lain. Late yang artinya Iri Hati. Apakah HoTeL ini hanya ada pada orang Batak saja? Kita sebagai generasi muda harus dapat mempertahankan budaya yang positif dan meninggalkan yang negatif. Sumber (elkana-http://tgs.lumbantoruan.net/?p=13#article)



PEMIMPIN BATAK
Batak, adalah suku bangsa yang telah memiliki peradaban diantara suku yang ada di Indonesia. Kenyataan, Batak telah memiliki bahasa dan alpabet, disempurnakan dengan adanya aturan, mekanisme proses kehidupan bermasyarakat.

Hubungan ini diatur pula dengan system ketataprajaan dalam konsep bius di beberapa wilayah yang telah “disempurnakan” menurut standart yang tersirat. Penyempurnaan ini, diartikan dengan berjalannya proses munculnya keteraturan dan kepemimpinan pejuang untuk kehidupan damai, rukun dan demokratis.

Adat istiadat, merupakan implementasi aturan hukum dalam pergaulan itu yang tidak terpisah dari ketataprajaan “bius”.
Saat ini, adat dimaknai seperti kegiatan rutin dalam proses perkawinan, kematian, kelahiran dan pesta tugu tanpa memahami lagi makna ketataprajaan dan makna kepemimpinan dan kebudayaan batak masa kini.

Melihat kenyataan ini, masyarakat Batak modern menganggap budaya Batak itu sebatas “paradaton” dengan kaitan kekerabatan “partuturon” dengan dihiasi unsur seni tradisional musik dan tari. Kearifan dalam hubungan kemasyarakatan dan proses kepemimpinan sudah hampir dilupakan dengan teori kepemimpinan baru dalam peradaban masa sekarang ini.
Proses sentralisasi diakui atau tidak, telah melunturkan tatanan yang ada dengan meng-generalisasi-kan kelembagaan masyarakat dan peraturan secara nasional. Kebudayaan masyarakat saat ini hanya dianggap sebagai rutinitas, yang bagi kalangan intelektual dan perilaku bisnis sudah menjemukan dan bertele-tele tanpa makna. Sadar atau tidak kebenaran itu mulai nyata, tatkala masyarakat terpaku mengikuti assesori budaya dan pada akhirnya sudah kehilangan makna.

Kebudayaan/Adat sudah mulai berkurang kekuatan daya untuk menggerakkan partisipasi dan keswadayaan tatkala masyarakat adat/budaya tergantung pada hiasan (assesori) budaya itu. 
Kebijakan Dalam Kepemimpinan.
Dalam kebudayaan batak, sulit dipisahkan arti pemimpin “monarki” dalam memahami demokrasi. Tapi jelas terlihat arti proses demokrasi batak dan proses munculnya kepemimpinan sesuai aspirasi masyarakat.

Proses Munculnya Pemimpin
Untuk memenuhi syarat “harajaon” yang memiliki criteria sarat moral, masyarakat Batak sudah mulai melakukan penggemblengan bibit, bebet, bobot pada keturunannya. Semasa dalam kandungan misalnya, dilakukan sebuah upacara dan mohon doa kepada Mulajadi supaya kelak anak yang dikandung layak jadi pemimpin dan memiliki kehidupan yang layak.

Anak Tubu.
Kelahiran merupakan proses awal melihat munculnya seseorang baru yang diharapkan muncul jadi pemimpin masa depan. Dengan berbagai ragam muatan dengan metode pengajaran tradisional, pengharapan “mombang marsundut” yaitu menurunkan “nilai kepemimpinan” kepada generasi penerus ditanamkan hingga dalam tahap menuju dewasa.

Anak Magodang.
“Tang” , merupakan proses pertama dilakukan kepada seorang anak menguji kemampuan berpikir, merencana, dan bekerja. Tang, dilihat dari kedewasaaan fisik dan berpikir, bersikap, bertindak dan mengambil keputusan. Dari kemampuan inilah dia diberangkatkan ke alam baru, sebuah keluarga sehingga disebut “anak mangoli atau boru muli” dalam sebuah perkawinan .

Anak Manjae.
Proses pembekalan masih tetap berlanjut hingga mampu mendirikan sebuah keluarga yang mandiri. Dia dilepas melakukan kendali sendiri berdasarkan kekuatan yang ada. Ini dinilai sejak dia dalam proses anak magodang (dewasa) tadi. Saat itu dia berada dalam tingkatan “anak manjae” (mandiri). Dalam tahap ini proses pendewasaan semakin dimatangkan. Akan diberikan kesempatan memberikan pandangan, kreasi dan rancangan keputusan yang bersifat internal kekeluargaan dalam kerabat terdekat yang disebut “na satataring”

Natunggane.
Merupakan istilah umum yang sering didengar hingga saat ini. Tahap ini adalah merupakan tingkat kedewasaan pemikiran dan peran yang lebih luas dalam hubungan kemasyarakatan.
Dalam hubungan masyarakat, “natunggane” adalah tingkat pertama menuju keterwakilan dalam “harajaon”.
Dia diberi peluang berkompetisi (awal) melakukan perbuatan yang bermanfaat dan layak diterima masyarakat.
Sikap, perilaku, tata bicara, kemampuan berstruktur dan yang paling utama dinilai adalah hasil dari apa yang dilakukannya.

Napinajolo.
Disini dia diuji kemampuannya melakukan tugas perutusan atau duta dalam tingkat musyawarah yang formal seperti horja, bius dalam melakukan tugas adat maupun musyawarah sosialisasi hukum kemasyarakatan dan hukum adat. Dia legal formal mewakili klannya dalam musyawarah dan pengambilan keputusan dalam tingkat horja.
Kebiasaan ini masih terlihat saat ini dalam acara adat, manakala seseorang diutus di depan mewakili kelompok marga menjadi “raja parhata”.

Pinaraja
.
Seseorang yang mewakili “harajaon” turun temurun dalam klannya. Dapat juga dalam keterwakilan dalam adat istiadat. Dia dicoba membawakan peran seperti halnya yang diwakilinya. Dalam harajaon yang tertata dalam bius dulunya, Raja ini adalah sosok formal yang individual. Na-Pinaraja dapat diartikan mewakili ayahandanya yang diakui sebagai Raja dalam klannya dan Horja. Dalam harajaon klannya, dia sudah diberi wewenang pengambilan keputusan awal. Raja hanya memberikan pertimbangan. Bila terjadi kesalahan dan kegagalan atas keputusannya, maka dalam musyawarah semua kesalahan akan diambil pertimbangan “dipabenda” ditarik tugasnya sementara waktu dan diambil alih raja yang memberikan penugasan sebelumnya.

Dia harus memahami bahwa dalam tradisi Batak tidak ada kesalahan yang tidak mendapat hukum. Pendewasaan “kepemimpinan” formal dalam harajaon batak harus ada garis tegas yang diberlakukan sebagai monitoring dan evaluasi. Bagi calon pemimpin yang karismatik, hukuman “dipabenda” adalah sangat berat dan berdampak luas kepada dirinya menjadi seorang bijaksana atau menjadi pecundang.

Raja
Kita pisahkan sementara pemahaman saat ini seperti raja yang berlaku bagi setiap orang batak sebagai status “hula-hula” dalam “partuturon”.

Dalam pemahaman ini, adalah seorang pemimpin yang memegang kendali penegakan hukum dan pensejahteraan masyarakatnya. Kita mengartikan seseorang yang melanjutkan “harajaon” yang dipangku orangtuanya sebelumnya.
Hukum harajaon untuk pemimpin batak harus diemban dipundaknya. Ini tidak lagi bermasalah karena semenjak muda sudah digembleng dan dibekali beragam pengalaman yang didelegasikan kepadanya. Dia tidak lagi mengalami euphoria kepemimpinan. 
Raja dalam pengertian tradisi batak ada beberapa pemahaman.
Pertama, adalah Raja sebagai pemimpin formal. Mereka pemimpin komunitas dalam satu wilayah “huta dan bius”. Stuktur “suhi ni ampang naopat” adalah komposisi formalnya. Mereka memiliki raja pendukung sesuai peran dan tugas yang sebutannya, ada yang berbeda pada wilayah beda. Pemimpin utama adalah yang bendapat sebutan “pangulu Bolon”

Kedua, adalah Raja menjadi sebutan karena sifat dan karakternya yang terpuji. Walau tidak formal memiliki otoritas kepemimpinan, tapi dia dihormati karena kepribadiannya itu.
Ketiga, adalah Raja dalam status kekerabatan. Dia yang menjadi perutusan kekerabatan “partuturon” dalam suatu acara adat. Mereka yang menajdi tokoh pelaku dalam proses upacara adat batak.
Keempat, adalah sebutan santun kepada seseorang walau tidak didasari kapasitas dan otoritas kepemimpinan. Biasa dalam ucapan sehari-hari kepada pihak hula-hula.

Penganugerahan gelar Raja akhirnya menjadi mudah. Egalitarian Batak tanpa batas menjadi sangat ringan menyatakan “ai sude do raja” semua adalah raja. Kriteria harajaon kurang dipenuhi sifat-sifat kepemimpinan untuk mendapatkan kenyamanan mendapatkan sebutan itu. 
Ditulis Oleh : Monang Naipospos
(Sumber:http://tanobatak.wordpress.com/)
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger