Friday, December 23, 2011

RENUNGAN NATAL 2011

NATAL AWAL INTEGRITAS

"aku minta pada YESUS setangkai bunga segar, ia beri aku kaktus berduri. Aku minta pada YESUS binatang mungil nan cantik, IA beri aku ulat berbulu. Aku sedih, marah & kecewa..Betapa tidak adilnya ini. Namun kemudian...kaktus itu berbunga....indah...bahkan sangat indah, dan ulat itupun tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yang amat cantik itulah jalan TUHAN, indah pada waktunya...! TUHAN tidak memberi apa yg kita harapkan, tapi IA memberi apa yang kita perlukan. Kadang kita sedih dan kecewa, terluka, tapi jauh di atas segalanya, IA sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita. YESUS MAHA SEGALAnya, semoga kita termasuk dalam orang-orang yang tahu bersyukur atas karunia dan nikmat yang diberikan TUHAN"

Forum Masyarakat Peduli Bonapsogit Mengucapkan:  "SELAMAT NATAL 25 DESEMBER 2011"

Gegap gempita memasuki abad ke-21, millenium ketiga baru saja kita lalui, di mana kita di Indonesia sekaligus juga memasuki era reformasi. Secara ringkas kita melihat karakteristik abad ke-21 yang terutama dicirikan oleh: (1) globalisasi di mana segala sesuatu mengalami proses mendunia atau penduniaan;(2) semakin meningkatnya kesadaran hak asasi manusia;(3) semakin tingginya kesadaran pelestarian lingkungan; dan (4) semakin hebatnya kemampuan manusia dalam rekayasa alami dan hayati. Sebagaimana sering diungkapkan, globalization is two-edge sword, bringing benefits to some and misery to others (globalisasi ibarat pedang bermata dua yang dapat membawa keuntungan dan kesengsaraan bagi manusia). Dampak positif globalisasi disebut sebagai kesempatan yang harus kita manfaatkan, sedangkan dampak negatif disebut sebagai tantangan yang harus kita hadapi, atasi, tanggulangi sedapat-dapatnya. Istilah globalisasi mengemuka setelah negara-negara saling membuka diri dalam semua aspek kehidupan.  Keterbukaan itu terbangun antara lain dengan interconnection dan networking yang pada akhirnya membuat semua Negara terhubung secara on line baik melalui satelit, email, HP, dll, sebagai buah dari kemajuan teknologi informasi. Arus informasi semakin deras dan bahkan tak terbendung lagi sehingga semua kalangan, baik dewasa maupun anak-anak dapat melihat keadaan dunia luas dengan cepat.
Dengan segala untung ruginya, kita perlu mencermati globalisasi ini yang antara lain membawa pengaruh kepada masyarakat. Berbagai pengaruh yang mungkin adalah hilangnya jatidiri asli, nilai-nilai dan tradisi (lost identity) msyarakat lokal, terjadinya penyatuan budaya (homogenizing culture) yang merusak budaya local sehingga nilai-nilai dansimbol-simbol agama, adat dan tradisi pun bisa hilang. Globalisasi membuat persaingan yang amat keras dan keras dan ketat baik antar-individu, antar-kelompok, antar-bangsa dan antar-region (Utara-Selatan, Atlantik-Pasifik, Amerika Utara- Eropa-Jepang. Globalisasi semakin mencairnya batas-batas antar bangsa. Umat manusia akan lebih saling tergantung satu dengan yang lain. Namun sebagai reaksi terhadap semakin cairnya batas-batas dan solidaritas-solidaritas lama, sekarang ini kesadaran identitas kelompok yang sempit justru menjadi semakin besar. Sering dalam menguatnya sentimen-sentimen primordial dan fundamentalisme agama.
Kondisi sosial jemaat Kristen dewasa ini sedang mengalami keterpurukan di mana terjadi kekerasan di berbagai tempat, tingginya fanatisme, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan, kemiskinan dan ancaman punahnya unsur-unsur budaya luhur kita. Untuk menjawab kebutuhan ini, jemaat membutuhan para pelayan Tuhan yang memiliki integritas.
Kata ‘integritas’ berasal dari bahasa Inggris, yakni integrity, yang berasal dari kata integer, artinya menyeluruh, lengkap, utuh. Ini adalah bentuk ketaatan secara keagamaan terhadap kode moral, nilai dan kelakuan. Artinya keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur dan dapat dipercaya. Orang yang berintegritas adalah orang yang tidak terpecah oleh konflik batin. Perkataan dan perbuatannya menyatu.
Pendidikan Integritas terhisap dalam Pendidikan Kepribadian dalam cakupan Pendidikan Agama Krsiten. Integritas bisa kita pelajari dan tumbuhkan dalam diri kita, tetapi untuk itu diperlukan waktu  bertahun-tahun melalui pergumulan. Apa yang membuat keprinadian berintegritas? Ini contohnya. Seorang montir memeriksa mobil. Keesokan hari ia melapor kepada pemilik, “Tidak ada suku cadang yang perlu diganti”. Di rumah ia menceritakan hal ini kepada istrinya. Istrinya membentak”Kau bodoh! Sok jujur, masuk kubur! Padahal kita butuh uang untuk kontrak rumah!”
Unsur apakah yang tampak di sini? Kejujuran? Bukan! Integritas jauh lebih luas dari kejujuran. Kita simak kasus montir tadi. Unsur pertama adalah mempunyai hati nurani yang membisikan mana yang baik dan mana yang jahat. Unsur kedua adalah mau menaati bisikan hati nuraninya. Unsur ketiga adalah berani berkeyakinan, walaupun semua orang menganggap dia bodoh. Unsur keempat adalah konsep diri dan kebanggaan professional. Ia berpendapat bahwa pekerjaan montir adalah jabatan terhormat dan ia menjaga kehormatannya.
Kasus montir itu sepele. Kepribadian berintegritas memang dimulai dari perkara yang kecil. Apa yang dilakukan itu pula yang diyakini, dan apa yang diyakini itu pula yang diperbuat. Orang yang berintegritas seperti itulah yang kita butuhkan di dalam gereja. Ucapannya bisa dipercaya. Perbuatannya bisa diandalkan. Ia tidak mengobral janji. Perkataan dan perbuatannya sama. Gereja bahkan masyarakat membutuhkan manusia yang berintegritas. Itulah yang diperbuat Allah pada malam Natal. Perkataan-Nya menjadi perbuatan-Nya. Yohanes bersaksi, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah…Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya…”(Yoh.1:1,14)
Apakah Yohanes memberi kesaksian ini karena melihat kelahiran Yesus? Tidak! Yohanes tidak hadir dis itu, sebab ia sendiri belum dilahirkan. Lagi pula, seandainya ia hadir, bagaimana ia bisa menyimpulkan bahwa bayi ini adalah Firman yang menjadi manusia? Kalau begitu, apakah Yohanes menulis kesaksian ini ketika ia berada bersama Yesus tiap hari selama beberapa tahun? Bukan! Ketika itu ia masih terheran-heran siapa gerangan gurunya ini.
Yohanes menulis kesaksian ini baru kemudian, yaitu enam puluh tahun setelah ia melihat kematian dan kebangkitan Yesus. Selama enam puluh tahun itu ia mengenang kembali apa yang dialaminya bersama Yesus. Ia merenung bersama teman-teman segereja. Akhirnya mereka tiba pada keyakinan, “Pada mulanya adalah Firman…Firman itu telah menjadi manusia”  ( Yunani. Sarx = daging,  kedagingan manusia, manusia yang seutuhnya). Maksudnya, perkataan telah menjadi kenyataan. Kata dan tindakan menyatu Dalam Kristus terjadi integritas.
Kata perlu menjadi fakta. Juga sebaliknya! Fakta juga perlu menjadi kata. Fakta perlu dibahasakan. Yang perlu bukan hanya Firman menjadi daging, melainkan juga daging menjadi Firman. Maka menulislah Yohanes. Dengan bantuan teman-teman segereja yang menyusun dan mengedit, Yohanes yang sudah lanjut usia membahasakan Sang daging. Begitulah, sembilan puluh tahun setelah Sang Firman mendaging, terbitlah buku yang berdalil”Firman jadi daging!”
Firman menjadi daging. Daging menjadi Firman. Itu integritas! Dan integritas itu berawal pada malam Natal. Di dalam Natal yang kelihatan adalah bayi yang lemah, Yusuf dan Maria yang amat sederhana, kandang yang kotor, palungan yang hina, kain lampin sepotong. Tetapi mengapa para gembala dan orang-orang majus dari jauh mau datang untuk menyembah Dia? Karena mereka berhasil melihat ‘permata’ di balik’tanah’ yang kotor itu. Mereka melihat tangan Tuhan yang terulur menawarkan alternative bagi kehidupan mereka: hidup yang tidak lagi cuma bergantung kepada potensi dan prestasi diri sendiri-yang sering membuat orang berhenti pada kesombongan pribadi yang kosong atau frustrasi yang sangat- melainkan hidup yang terarah kepada Allah dan terbuka kepada sesama, yang membuat hidup manusia menjadi bermakna. Di balik kesederhanaan Natal itu, kita diberi pilihan: hidup di dalam kasih, keadilan, kebenaran, kerelaan berkorban- yang memang tidak mudah-atau hidup dalam keserakahan, kesewenang-wenangan dan kepalsuan, yang pasti mencelakakan.
Makna Natal itu mengajarkan kepada kita, bahwa kebahagiaan manusia itu tidak terletak ketika kita mempunyai lebih banyak, melainkan ketika kita menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermakna bagi Tuhan dan bagi sesama. Not by having, but by being more, dan mempunyai keberanian menyatukan perkataan dan perbuatan.
Perayaan Natal menampilkan beberapa fenmena. Pertama, Natal diyakini oleh orang Kristen sebagai perayaan kelahiran Tuhan Yesus. Allah yang tinggi turun ke bumi dan lahir sebagai manusia. Kata dan perbuatan Tuhan menyatu di dalam Natal itu. Kedua, Natal adalah pesta keluarga.  Orang sering ‘mudik’ menjelang Natal. Ketiga, adalah  pesta perdamaian. Perayaan Natal tidak hanya memberi makna bagi kehidupan iman dan keluarga tetapi juga kehidupan sosial. Kelahiran Sang Juruselamat, juga diyakini sebagai kelahiran dari Sang Pendamaian, pertama antara Tuhan dan manusia kemudian antara manusia sengan sesame. Keempat, Natal adalah pesta keseimbangan lingkungan. Segi ini sering dilupakan, tetapi relevan dengan isu ekolgis dewasa ini. Kelahiran Sang Raja itu berlangsung sangat sederhana. Natal sudah sewajarnya dirayakan sebagai pesta persahabatan manusia dengan alam. Kepedulian manusia  tidak hanya kepada Allah dan sesama, tetapi juga kepada alam lingkungannya. Kelahiran Anak Allah menjadi manusia. Ia menginjak bumi dan dalam hidup-Nya di dunia Ia mengambil makanan yang disediakan oleh alam lewat karya manusia. Karena itu alam lingkungan tidak boleh dilihat sebagai objek yangharus ditundukkan, tetapi sahabat yang membantu manusia.
Pesan Natal bagi manusia modern, memuat beberapa hal. Pertama, Natal mengajak orang untuk solider dengan sesamanya. Ia menjadi sama dengan manusia. Kedua, Natal merupakan sebuah kritik bagi manusia masa kini. Manusia masa kini terlalu banyak berpura-pura. Natal menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki apa pun. Ia lahir sebagai seorang pengemis cinta dari orang lain. Itu berarti ia mesti menjadi manusia yang terbuka pada orang lain. Tetapi manusia masa kini adalah manusia yang tertutup. Ini memang ironis. Katanya alat komunikasi modern membuat manusia lebih dekat  dengan orang lain. Tetapi di pihak lain, hubungan manusia yang bersifat jujur, apa adanya, sering terhalang oleh pemakaian alat-alat yang canggih. Komunikasi informasi kini menjadi sebagai permaianan kekuasaan. Ketiga, perayaan Natal mengajak  semua insan di bumi untuk mengenangkan kenyataan dasar: kita lahir tanpa memiliki sesuatu pun. Kemiskinan eksistensial sudah ada sejak kita lahir. Kedamaian yang sering dikaitkan dengan Natal, hanya muncul dari pengakuan bersama bahwa manusia dilahirkan dengan telanjang, lahir tanpa milik. Harta, kekuasaan sering memisahkan manusia dengan yang lain. Manusia menerima kehidupan, tidak memilikinya. Orang tidak pernah dilahirkan semata-mata untuk dirinya sendiri.Kebersamaan itu menciptakan solidaritas antara umat manusia. Natal mengajak orang untuk solider dengan sesamanya.
Penulis : Pdt. Dr.Luhut P. Hutajulu MTh
HKBP Kebayoran Baru



(Sumber : http://www.hkbp.or.id)
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger