Tuesday, December 27, 2011

Mengenang Dr.Ingwer Ludwig Nommensen (Batak People and the German)

Siboan tua do omputa si Nommensen
“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr. Ingwer Ludwig Nommensen)

Ingwer Ludwig Nommensen (lahir di Nordstrand, Denmark (kini Jerman), 6 Februari 1834 – meninggal di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918 pada umur 84 tahun) adalah seorang penyebar agama Kristen Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. Ingwer Ludwig Nommensen, yang lebih dikenal dengan sapaan Nommensen, ialah seorang tokoh Pekabar Injil Jerman yang terkenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?, Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan. Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.

Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Di masa muda Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.

Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun. Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.

Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen. Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
 
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Bangsa Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”  Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.  Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.

Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung. Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya. Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP. Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar kembali ke Silindung.

Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti. Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.

Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung. Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.
Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.

Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana. Tercatat pula bahwa sejak tahun 1862 Nommesensen telah mendirikan gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar, Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Pansur Napitu, Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1914 di Ambarita; 1921 di Medan; dan 1922 di Jakarta.

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri. Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”. Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga… 
Penulis, Tonggo Simangunsong 
Gereja HKBP DR.IL.Nommensen Sigumpar -Toba Samosir


Menurut Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta.  Halaman 217-219 :.  

A.       Akan tetapi pengkristenan jang luar biasa tjepatnja dan luasnja itu mempunjai sebab-sebab jang lebih dalam daripada apa jang sudah dibentangkan diatas. Usaha Pekabaran Indjil jang berlaku disitu mempunjai keistimewaannja sendiri. Per-tama-tama kita menekankan, bahwa sedjak permulaannja usaha Pekabaran Indjil di Tapanuli terlaksana atas dasar kerdja sama dan menurut suatu rentjana jang tetap. Sudah ditjatat diatas, bahwa permulaannja ialah diadakannja suatu konperensi para Pekabar Indjil di Sipirok. Mereka sepakat didalam segala langkah-langkah mereka. Bukan seperti didalam daerah-daerah jang lain, bahwa para Pekabar Indjil mendjalankan ichtiarnja masing-masing, melainkan usaha mereka disitu terdjadi dengan kata sepakat. Tambahan pula perhimpunan RMG di Djerman memberikan dukungan sepenuhnja untuk melaksanakan pengkristenan di Tapanuli sebagaimana mestinja. Boleh dikatakan, bahwa sampai tahun 1914 djumlah pekabar Indjil jang diutus kesitu sangat besar djika dibandingkan dengan djumlah di-daerah-daerah lain.
          Akan tetapi keuntungan jang paling besar ialah pekerdjaan dan pimpinan jang dilaksanakan oleh seorang   pekabar Indjil jang paling besar didalam lapangan Pekabaran Indjil pada abad itu, jakni L. J. Nommensen.
 
B.  Ia lahir pada perbatasan sebelah utara Djerman pada tahun terbunuhnja kedua pekabar Indjil di Tapanuli, jaitu 1834. Asalnja dari keluarga jang sangat miskin, sehingga ketika masih ketjil Nommensen terpaksa mentjari nafkahnja sendiri. Pada usia 12 tahun, sedang ia sakit keras oleh karena lumpuh kaki-kakinja, maka ia bernazar untuk membawa Indjil kepada orang-orang kafir djika Allah mau menjembuhkan penjakitnja itu. Ia mengalami dikabulkannja permohonannja itu, dan dengan sangat radjin ia menjiapkan diri untuk memenuhi djandjinja tadi. RMG memberikan pendidikan kepadanja serta mengutusnja pada tahun 1861. Pemerintah Belanda mengizinkan dia tinggal hanja didaerah jang didudukinja, sehingga Nommensen memilih Baros, tempat Van der Tuuk dahulu. Ia bermaksud untuk masuk kepedalaman dari Baros, akan tetapi usahanja gagal. Kemudian ia di Tapanuli Selatan, beserta dengan para pekabar Indjil jang lain. Tetapi pada tahun 1864 ia memberanikan diri masuk kedaerah Silindung. Sangat pahit pengalamannja disitu. Hampir tak tertahan olehnja tindakan-tindakan orang-orang Batak jang selalu mengganggu dia seperti djuga halnja terhadap orang-orang Kristen Batak jang pertama. Di Huta Dame (Kampung Damai) ia mengumpulkan djemaat jang pertama, jang berdekatan dengan Saitnihuta, suatu pasar jang penting di daerah itu. Pada tahun 1873 ia mendirikan gedung Geredja, sekolah dan rumahnja sendiri di Pearadja, jang letaknja ditepi lereng sawah-sawah Silindung itu. Disitulah menetap pusat Geredja Batak sampai sekarang ini.
Akan tetapi pada saat diperluanja daerah pengkristenan kesebelah Utara, maka Nommensen sendiri berpindah kepantai danau Toba, kekampung Sigumpar, untuk merintis djalan disitu. Disitu ia menetap sedjak tahun 1891 sampai waktu adjalnja pada tahun 1918.
Nommensen bukan sadja merupakan perintis jang berani dan tahan udji, ia djuga memimpin usaha pengkristenan itu setjara bidjaksana dan dengan perspektif jang luas. Sudah pada tahun 1881 ia ditetapkan oleh pusat RMG mendjadi "Ephorus" atas segala usaha Pekabaran Indjil itu. Gelarnja itu, jang artinja sebenarnja tidak lain daripada "pengawas," masih berlaku digeredja itu sampai sekarang ini untuk menjebut ketuanja. Kemudian pada ulang tahunnja ke-70 maka Universitas Bonn memberikan gelar Doktor kehormatan kepadanja.

Beraneka warnalah pekerdjaan dan pengaruh Nommensen. Antara lain ia menterdjemahkan PB kedalam bahasa Toba, mangarang dan menerbitkan tjerita-tjerita dari PL, dan mengumpulkan dongeng serta tjerita-tjerita Batak. Akan tetapi matanja terbuka djuga terhadap keadaan jang sulit jang diderita oleh masjarakat disekitarnja. Ia memikirkan perbaikan pertanian, peternakan, bahkan dialah jang mengadjar orang-orang untuk membuat gilingan-gilingan beras jang sederhana, supaja kaum wanita dibebaskan dari pekerdjaannja jang berat menumbuk beras pagi-pagi. Terutama nasib hamba-hamba mendapat perhatiannja. Biasanja mereka itu diperhambakan oleh sebab utangnja, jang tak terbajar berhubung dengan bunga-bunganja jang sangat tinggi. Ia berpendapat, bahwa kebiasaan jang kurang adil itu harus dirobah supaja perhambaan dapat lenjap. Oleh karena itu ia mengumpulkan suatu modal uang di Belanda, jang dapat dipindjamkan kepada orang-orang miskin dengan bunga jang djauh lebih rendah. Hal itu mendjadi djalan jang bermanfaat untuk memperbaiki keadaan jang sangat djelek itu. Pun pasar-pasar merupakan suatu sumber kesulitan, oleh karena pasar-pasar diadakan tiap-tiap 4 hari sekali. Ia mentjapai persetudjuan dengan radja-radja untuk mengadakan pasar-pasar hanja pada tiap hari ke-7 sadja, sehingga perajaan hari minggu menurut kekristenan dapat dilaksanakan dengan gampang. Ia djuga berusaha mendapat djalan-djalan jang baik untuk menghubungkan daerah-daerah itu satu sama lain. Perhatiannja untuk mendirikan sekolah sangatlah besar. Ada utjapannja jang berbunji sebagai berikut: "Djikalau kita menabur kerohanian sadja, tak mungkin kita menuai manusia segenapnja." Artinja: Geredja tak dapat berdiri sendiri didalam suatu masjarakat jang terlantar setjara materi. Dengan tegas ia mendesak orang-orang Kristen, supaja mereka sendiri membangunkan gedung-gedung geredja dan sekolah, dengan tidak mengharapkan sumbangan apapun dari pihak lain. Memang, gedung-gedung itu sederhana sadja rupanja, tidak indah dan tidak dibangun dengan bahan-bahan jang mahal. Pendidikan pun harus dibiajai oleh mereka sendiri. Ia berpendapat bahwa suatu pendidikan guru atau pendeta jang berdiri sendiri.

Pada pihak lain Nommensen tidak segan-segan menerima subsidi-subsidi dari pihak pemerintah. Bukankah itu sudah dinubuatkan oleh nabi (Yesaya 49:23), bahwa: "radja-radja akan merawati engkau serta para permaisuri akan mengasuh engkau?" Sebenarnja tudjuan Nommensen ialah perkembangan Geredja se-mata-mata, akan tetapi tudjuan itu se-dapat-dapatnja dibajangkan setjara luas, bukan setjara pitjik. Ia berpendapat, bahwa pada waktu itu sudah tiba "tahun karunia Tuhan" (Lukas 4:19) atas suku-suku Batak; dan waktu jang teristimewa itu se-dapat-dapatnja harus dipergunakan. Kadang-kadang muntjullah kekuatiran diantara para pekabar Indjil, jang mengingat perkembangan dan pengluasan jang berikut itu. Mereka kuatir bahwa gerakan itu akan berlangsung setjara lahir sadja dengan tidak ada kebatinannja. Mereka hendak membatasi pengluasan itu serta mentjurahkan perhatiannja kepada kepribadian masing-masing orang. Akan tetapi Nommensen jakin, bahwa pada saat itu mereka bertugas "bukan untuk memantjing melainkan untuk mendjala." Memang, djustru oleh karena itu ia selalu menekankan betapa perlunja untuk mendirikan banjak setasi diseluruh daerah, supaja mereka jang tertangkap dengan djala itu dapat dipelihara dengan semestinja. Dalam segala usaha itu Nommensen menganggap perlu adanja pekerdja-pkerdja jang asalnja dari suku itu sendiri. Oleh sebab itu sedjak permulaannja ia selalu mendesak untuk mendidik mereka. Dapatlah dimengerti bahwa benar-benar Nommensen disebut "rasul Batak". Dialah pokok segala sesuatu jang sudah berkembang didaerah Batak. Demikian Warneck jang telah mengarang riwajatnja.

Batakhaus salah satu Rumah Adat Batak di kota Hamburg - jerman

 

Rumah adat masyarakat Batak yang dibangun atas inisiatif pastor Matthaus pada tahun 1978 menjadi daya tarik wisata kota Weperloh, negara bagian Niedersachsen, Jerman Utara. Konsul Jenderal RI Hamburg Teuku Darmawan didampingi Ketua Masyarakat Nauli Indonesia (MNI) Hamburg Paris Rumahorbo mengadakan kunjungan ke Weperloh di negara bagian Niedersachsen, kota yang terkenal dengan adanya rumah adat Batak.

KJRI Hamburg dalam keterangan persnya, Kamis, menyebutkan, rumah adat Batak tersebut yang kini dijadikan museum merupakan kebanggaan kota Weperloh dan juga sebagai obyek wisata bagi masyarakat sekitar.

Dalam kunjungannya, Teuku Darmawan bersama Paris Rumahorbo mengadakan pertemuan dengan Wali Kota Weperloh (Burgermeister) Hermann Grotjohann, Wakil Wali Kota Sogel, Hans Nowak, dan pengurus perhimpunan rumah adat Batak.

Dalam pertemuan itu disepakati menggelar Festival Budaya Indonesia, termasuk budaya Batak, Sulawesi, Ambon, dan Bali yang mengambil tempat di sekitar rumah adat Batak, Agustus mendatang. Kedua pihak juga berharap hubungan antara masyarakat Indonesia Batak pada khususnya, dapat dilakukan dengan mengadakan festival budaya dan pertemuan-pertemuan tahunan.

Wali Kota Weperloh juga menawarkan kerja sama di bidang pendidikan, khususnya sekolah dasar dan menengah Weperloh dan Sogel dengan sekolah di Tanah Batak. Konsul Jenderal menyambut baik usul ini dan berjanji untuk menyampaikannya pada instansi terkait.

Konsul Jenderal RI akan mengupayakan sumbangan ornamen-ornamen budaya untuk menambah koleksi rumah adat Batak tersebut. Dengan adanya rumah adat Batak dan kecintaan terhadap budaya Indonesia, diharapkan makin banyak masyarakat Jerman Utara berkunjung ke Indonesia untuk berwisata.

Pada pertemuan itu juga disepakati untuk mendeklarasikan persahabatan masyarakat kota Weperloh-Sogel dengan MNI Hamburg guna meningkatkan kerja sama berkesinambungan antara wakil-wakil masyarakat Weperloh dan Sogel dalam festival budaya tersebut.
 Sumber : ronema
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger