Saturday, June 16, 2012

Quo Vadis Hata Batak?

Tentang heroisme anak-anak, dalam dwibahasa : Batak dan Indonesia Buku ‘Mandera na Metmet’ ini menggelitik kenangan, romantika, dan  kebanggaan saya sebagai orang Batak. Dan setelah  menyimak buku ini, seketika benak saya tertaut pada dua hal: “Hata Batak” (Bahasa Batak) dan “heroisme anak Batak”. Mengapa? Karena buku ini adalah buku sastra modern marhata Batak, yang bertutur tentang heroisme orang-orang Batak.

Nah, ketika bicara ihwal Hata Batak, mau tidak mau, muncul selarik pertanyaan; akankah kita biarkan Hata Batak punah karena ditinggalkan oleh penuturnya?

Pertanyaan tersebut menjadi relevan setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011 lalu, menyatakan bahwa pada akhir abad ke-21, akan ada 90% bahasa daerah yang terancam punah.  Dari 746 bahasa daerah yang masih eksis saat ini, mungkin akan tersisa sekitar 75 bahasa daerah saja. Kini, sudah 10 bahasa daerah di Indonesia yang punah. Lantas, quo vadis hata Batak?

Hata Batak semakin terpinggirkan oleh globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang bersifat “english heavy”.  Apalagi, pendidikan dan tranformasi ilmu pengetahuan nyaris tak ada yang diantarkan dalam bahasa daerah. Pendidikan bahasa lokal kerap dimarginalkan, dianggap hanya pelengkap kurikulum, dan tidak begitu menentukan dalam mengindikasi keberhasilan pendidikan.

Saya kira, upaya mempertahankan Hata Batak adalah tanggungjawab kita semua, seluruh orang Indonesia, bahkan seluruh warga dunia. Unesco sudah menetapkan setiap tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.

Kita berharap, Hata Batak tidak termasuk bahasa yang terancam punah. Kita yang berasal dari etnis Batak punya tanggungjawab lebih untuk menjaga warisan dan budaya leluhur sampai akhir zaman. Sudah saatnya semua pemangku kepentingan adat Batak memikirkan bahwa nyaris tak ada institusi resmi yang merasa perlu mengawal Hata Batak, kecuali lembaga adat dan gereja etnik Batak.

Kearifan lokal: Tradisi dan perlawanan terhadap tradisiSaya juga merasa, pendekatan budaya populer untuk mengembangkan Hata Batak akan cukup efektif. Itu sebabnya, penerbitan buku sastra modern marhata Batak  berupa novel heroik ‘Mandera na Metmet’ karya SPT ini, terasa sangat melegakan. Ini kiprah berikut SPT, setelah sebelumnya menerbitkan buku pertama dalam sejarah sastra Batak (Toba),  berjudul ‘Mangongkal Holi’, berupa kumpulan torsatorsa.  

SPT sudah berkiprah di ranah sastra sejak tahun 70-an, dan ia sangat konsisten. Novel ‘Mandera na Metmet’  sejatinya juga memberikan sebuah pertanyaan—yang terkait dengan heroisme anak Batak, hal kedua setelah soal Hata Batak, yang terbersit dalam benak saya  seperti yang ditulis di bagian  awal pengantar: Tahukah anak muda Batak bahwa di tanah asalnya pernah ada pergolakan melawan penjajah?

 ‘Mandera na Metmet’ berhubungan dengan jargon ‘jasmerah’ – jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sungguh, dalam sejarahnya, anak-anak batak memiliki tradisi heroik.

Dalam novel ini, SPT menampilkan karakter si Jermi, satria sejati, pejuang tanpa pamrih yang berani dan banyak akal.  Si Jermi  menunjukkan bahwa anak muda Batak mampu mereguk spriritualistas yang jernih dari sumur rohaninya, untuk membentuk persaudaraan dan harmoni, sekaligus berani menegakkan kebenaran, serta melawan kesewenang-wenangan. Jermi membuktikan, etos, karakter, dan hata Batak tidak inferior di hadapan budaya lain. Jermi meneladankan kepahlawanan, heroisme, tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk moral dan spiritualias.

Jiwa satria si Jermi kemudian ditularkan kepada tokoh lain, si Jekjek. Tranformasi kepahlawanan lewat persahabatan dan  jiwa persaudaraan, senasib sepenanggungan, sungguh merupakan ciri khas kesejatian orang Batak.

Ketika si Jekjek menua, ia benar-benar menjadi manusia sejati. Bahkan kepada cucunya pun, tidak terbersit kesan bahwa ‘si Jekjek’ yang ‘Ompung’ itu membanggakan diri sendiri. Tak ada rasa sombong, atau silau oleh prestasi di masa lalu. Si Jekjek mengakui, si Jermi-lah sumber inspirasinya. Kepada cucunya, Ompung Jekjek menceritakan kekaguman, kebanggaan dan rasa syukur karena pernah memiliki sahabat bernama si Jermi.

Si Jekjek memberi kita teladan tentang bagaimana memelihara sportivitas, fairness, dan rasa sepenanggungan dalam bingkai semangat tolong menolong. Ia tidak memanipulasi sejarah, tidak merasa hebat sendiri, dan senantiasa bersikap rendah hati.

Nilai lain dari novel ini adalah saratnya nuansa tradisi luhur yang menjadi setting cerita. SPT berhasil memberi pesan bahwa tradisi-tradisi Batak masa lalu penting untuk direvitalisasi, termasuk ‘marsiadapari’, atau tradisi saling menolong di sawah, yang mirip tradisi ‘mapalus’ di Minahasa.

Semoga karya ini bisa menyembuhkan kita dari luka modernisasi dan globalisasi, mengingatkan kita bahwa masih banyak warisan leluhur—termasuk hata Batak — yang perlu dilestarikan, serta memberi semangat untuk menjaga tradisi kepahlawanan para leluhur di masa silam. Kita berharap, penerbitan buku ini akan diteruskan oleh karya-karya lain, demi memastikan bahwa Hata batak dan tradisi Batak akan terus bertahan hingga akhir masa.

Horas jala gabe,

Jakarta, Maret 2012
Komjen Pol. (Purn) Drs Posma L. Tobing

PS : Mangongkal Holi 40.000 (192 halaman), Mandera Na Metmet 35.000 (160 halaman) + ongkos kirim.(Tiki), Dapat dipesan langsung kepada penulisnya Bapak Saut Poltak Tambunan Via Inbox Facebooknya (https://www.facebook.com/saut.p.tambunan)
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger