Thursday, June 21, 2012

FMPB Sumut : Batak Jangan Mau Terpecah Belah


Karikatur Oleh :Gom Tobing
Mau tidak mau kita harus menyadari bahwa pada umumnya Generasi Batak  (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, Angkola) sekarang tidak hanya orang Batak tetapi hampir seluruh mengena keseluruh suku-suku dan ras yang ada di Indonesia, tidak memahami tujuan dari kearifan Budaya lokalnya tetapi cenderung mengadopsi dari kebiasaan bangsa asing dan mengikutinya dengan fanatisme berlebihan melalui system kepercayaan bangsa asing yang didalamnya bukan bagian dari kearifan local budaya-budaya yang ada di Indonesia. Dalam istilahnya hal ini disebut dengan “Chauvinisme atau Jingoisme”. Chauvinisme masuk dalam bentuk Nasionalisme secara arti sempit yang artinya rasa cinta kepada bangsanya, faham / golongan tertentu yang berlebihan sehingga tidak menghiraukan / tidak peduli dengan orang lain atau golongan lain yang tidak sepaham dengannya. Sifat seperti ini cenderung mengarah kedalam perpecahan. Karena, akan tampak terlihat kecenderungan dari individualisme setiap orang atau kelompok.
Khusus dengan Batak, generasi sekarang sangat mudah tersulut emosinya. Berbeda dengan generasi Batak umur 50 Tahun ke Atas yang mampu beradabtasi walaupun terlihat garang, keras, menantang, namun masih menggunakan rasional dalam cara berpikir, realistis dan bertindak dengan memahami hidup sebagai orang Batak, sehingga  mampu mampu “mengelola/manajemen konflik” dan bersaing walaupun dalam tekanan bahkan semakin ditekan semakin kuat dan menjadi orang yang berhasil. Apa yang terjadi dengan generasi sekarang, tidak terlepas dari banyak dan kuatnya pengaruh-pengaruh asing, mulai dari kebudayaan asing, system politik, system dalam suatu Negara, dan ketidakadilan di Negara Indonesia ini. Banyaknya kasus main hakim sendiri, bentrokan antara 2 kubu disebabkan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat. “Hukum hanya bertaji kepada rakyat miskin, sesuatu yang dianggap minoritas, sesuatu yang dianggap lemah sebaliknya hukum akan tumpul kepada pejabat-pejabat, kepada sesuatu yang memiliki kekuasaan, sesuatu yang dianggap mayoritas, sesuatu yang dianggap dewa atau keturunannya akibat pengkultusan yang berlebihan, sesuatu yang dianggap memiliki harta yang banyak”. Maka tak heran jika bangsa ini sekarang tidak percaya hukum dan penegak hukum. Alhasil terhadilah seperti yang ada di Bangsa Indonesia sekarang ini, tiap kelompok mempertahankan keberadaannya.

Di sisi lain, pendidikan karakter yang didengung-dengungkan oleh pemerintah melalui Kemendikbud belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sekolah yang diharapkan sebagai ujung tombak pendidikan malah mandul menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas dan bermoral, berwasasan Nasional Kebangsaan Indonesia dengan mengangkat kearifan lokal budaya-budaya yang ada di Indonesia . Bukti yang teraktual adalah banyaknya siswa melakukan aksi corat-coret setelah UN akibat hanya mementingkan nilai hasil ujian dan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. 

Demikian halnya dengan kejadian issue Negara Jiran Malaysia yang hendak mengklaim Tortor dan Gordang Sambilan menjadi bagian warisan kebudayaannya, diperlukan sikap yang berjiwa Batak, dalam menanggapi setiap issue yang berkembang terhadap Batak agar tidak mudah dipecah belah oleh pihak yang tidak senang bersatunya orang Batak.  Batak(Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak, Angkola) yang telah berbaur (berketurunan) baik sesama Bangsa Batak(bukan satu marga dan tidak ada hubungan keluarga dekat) dan juga suku-suku lainnya di Indonesia sudah pasti harus menerapkan prinsip Tata Krama dalam hidup yaitu Dalihan Natolu: Dalihan Na Tolu : Somba marhula-hula (hormat kepada hula-hula: marga-marga dari mana istri, ibundanya, inangtua/uda, ompung boru dst ), Manat mardongan tubu (tertib dan awas terhadap kawan semarga),dan Elek marboru (lemah lembut dan bersikap mengayomi terhadap boru) walaupun dalam tiap puak sedikit berbeda pengungkapannya.

Kebudayaan Batak dengan suatu tujuan hidup yang tangible, jelas dan rasional, yakni Hagabeon (keturunan yang banyak), Hamoraon (kekayaan) dan Hasangapon (kemuliaan atau keterhormatan). Khusus dengan “Hagabeon” : munculnya issu klaim Tortor di Malaysia yang diajukan oleh masyarakat Mandailing membuktikan Batak memiliki keturunan yang banyak, walaupun sebagian Masyarakat Mandailing tidak mengakui sebagai Batak diakibatkan tidak mau menerima realita dan berpikir logika serta mempermasalahkan persoalan kepercayaan secara fanatic berlebihan. Namun sebagai keturunan Batak kita harus menjaga persaudaraan itu dan tetap menganggap bagian dari diri kita karena itu adalah bentuk dari perbuatan “Kasih”.
Dengan semua kehebatan dan keberhasilan orang Batak  jaman dulu baik Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola dalam kiprahnya dalam kehidupan di dunia ini (umumnya keberhasilan yang ditangkap orang Batak sekarang Euforia dari keberhasilan Batak generasi 50 Tahun ke atas), dalam kenyataan kita segera dapat melihat mencuatnya beberapa produk negatif dari sifat orang  Batak itu sendiri, yang timbul oleh pemahaman dan pengamalan yang bias (salah kaprah) tentang euphoria keberhasilan orang Batak yang berujung kepada egoism, mementingkan kepentingan kelompok (puak).

Kita berharap bahwa fenomena masyarakat khususnya Batak yang terjadi saat ini bukan karena pergeseran budaya. Melainkan hanya ketidakpuasan terhadap apa yang terjadi sekarang ini. Kita berharap pemerintah bisa segera memperbaiki segala kealfaannya begitu juga para Penatua Adat Batak. Dan kita juga sebagai rakyat Indonesia, mulai sekarang mesti kembali kepada apa yang dicita-citakan Founding Father kita dulu. Kita mesti kembali merevitalisasi semangat Pancasila dalam kehidupan kita. Sehingga kita bisa berharap untuk kembali menjadi negeri yang dikenal dengan rakyatnya yang sangat santun dan baik.
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger