Tuesday, January 3, 2012

Batak Dalle Menghadapi Fungsi Sejarah dan Kedudukan Dalam Hukum Adat

Mengapa Ada Istilah Batak Dalle?

·         HIDUP SEBAGAI ORANG BATAK
Sebelum membahas tentang Batak Dalle, baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa-apa saja yang menjadi ciri hidup orang Batak (Toba, Karo,Simalungun, Mandailing, Pakpak,Angkola) :

A.    Falsafah Batak dan Sistem Kemasyarakatan
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
  • Pertama, Somba Marhula-hula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.
  • Kedua, Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
  • Ketiga, Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga

Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.

Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut:
  • Somba Marhula-hula:ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih.
Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati(masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

  Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

C.      Tarombo
Silsilah Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola) atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

D.      Bahasa Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing,Pakpak, Angkola)
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.

·         Pengertian Batak Dalle
Batak dalle adalah sebutan orang-orang Batak yang masih megerti  Falsafah Batak, Sistem kekerabatan Batak, Tarombo Batak dan Bahasa Batak kepada orang-orang atau keturunan Batak(terutama mereka yang masih memakai marga dan mengaku sebagai keturunan orang Batak) yang tidak lagi mengerti akan ciri hidup sebagai orang Batak dan tidak mau belajar tentang kebatakan serta tidak mau disebut Batak.
Sebutan Batak dalle untuk orang-orang Batak bukan hanya kepada mereka yang tidak mengerti bahasa Batak, karena banyak orang tidak begitu tahu menggunakan Bahasa Batak tetapi masih mengerti dan mau menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan Batak dan mengikuti aturan-aturan, falsafah hidup sebagai orang Batak walaupun tidak begitu paham dengan Bahasa Batak.
Dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar disebutkannya “Batak Dalle” adalah tidak memahami kaidah-kaidah hidup sebagai orang Batak berdasarkan urutan sebagai berikut :
  1. Tidak memahami Sejarah, Falsafah  dan Sistem Kemasyarakatan Batak
  2.  Tidak memahami kekerabatan Batak.
  3.  Tidak mengerti sama sekali Tarombo (adat istiadat) Batak.
  4. Tidak mengerti Bahasa Batak.
  5. Tidak mau mengakui identitas diri sebagai keturunan orang Batak (Tidak mau menggunakan marga)
·         Batak Yang Sering disebut  Batak Dalle
1. Keturunan Batak apa saja (Toba, Simalungun, Angkola, Mandailing, Karo dan Pakpak) yang sudah tidak bisa berbahasa Batak karena tinggal di daerah rantau yang tidak didominasi oleh suku Batak.

Catatan :
Sebutan Dalle tidak pernah ditujukan untuk warga dan keturunan Batak Gayo, Batak Alas, Batak Kluet dan Batak Singkil yang wilayahnya termasuk Prov. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Juga tidak umum disebutkan kepada orang-orang Batak Rao yang wilayahnya masuk Prov. Sumatera Barat.
Begitu juga dengan Batak di Rokan yang wilayahnya sekarang masuk dalam beberapa kecamatan dalam Kabupaten Rokan Hulu Prov. Riau.
Serta tidak pernah disebutkan untuk keturunan Batak (umumnya Batak Mandailing) yang bermukim di Malaysia sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Tidak pernah digunakan untuk warga Suku Lubu di Jambi yang bahasa daerahnya banyak memiliki kemiripan dengan dialek Mandailing.
Tidak diperuntukkan utk keturunan Nias, karena etnis Nias memang bukan termasuk Suku Batak dan memiliki etnis, Hukum Adat, bahasa daerah dan Budaya sendiri yang tidak memiliki akar sejarah yang sama dengan Suku Batak secara umum.

2. Sebutan Dalle juga umum diberikan kepada warga Melayu keturunan Batak yang banyak bermukim di wilayah sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera Utara. Mereka ini adalah keturunan para perantau Halak Batak yang menetap di daerah tanah Melayu tersebut berabad yang silam, kemudian mengadopsi budaya Melayu dan agama Islam dalam kehidupan kesehariannya. Mereka membuang marga Bataknya dan benar-benar terabsorbsi menjadi Suku Melayu selama beberapa generasi.

Mereka ini adalah keturunan warga beberapa Kesultanan Melayu di Pesisir Timur yang pada awal pendiriannya juga didirikan oleh orang Batak Asli ex para Panglima Paderi yang diangkat oleh Belanda menjadi Sultan-Sultan di daerah pesisir pantai Timur.

Selain itu juga di akhir abad ke-19 banyak perantau Batak dari Toba dan sebagian juga dari Simalungun yang didatangkan Belanda untuk menjadi tenaga kerja perkebunan sebelum masuknya kuli kontrak dari Jawa di awal abad ke-20. Mereka kemudian menetap dan mengubah identitas dirinya sebagai orang Melayu dan memeluk agama Islam dalam segenap aspek kehidupannya.

Kesadaran akan identitas diri dan asal muasal keluarga baru mulai booming di sekitar tahun 1950-sekarang ini. Saat itu mulai terbuka informasi dan catatan sejarah yang masih bisa ditelusuri walaupun masih secara umum bahwa sebagian diantara orang Melayu tersebut ternyata adalah murni keturunan Batak. Umumnya keturunan Batak Toba, Simalungun, dan juga Karo.

Sejak itu tumbuhlah kesadaran mereka untuk kembali menggunakan marganya. Hal tersebut terus berlangsung hingga kini secara bertahap sebagai suatu fenomena sensasional yang membanggakan.

Sayang sekali kembalinya mereka menggunakan Marga Batak keluarga besar nenek moyangnya tersebut, kerap tidak didukung oleh pengetahuan akan silisisah Tarombo yang pasti. Hal ini disebabkan sudah terputus selama beberapa generasi dan menjadi orang Melayu.

Disamping itu juga tidak didukung dengan pengetahuan Bahasa Batak karena memang mereka tinggal di wilayah yang murni berbahasa daerah Melayu dan bahasa Nasional Indonesia. Begitu juga dengan pengetahuan adat dan budaya Batak yang memang telah hilang dari keluarga besar mereka selama beberapa generasi sebelumnya.

3. Batak Dalle juga sering digunakan sebagai istilah untuk menyebut orang-orang asli bersuku Batak bermarga Batak Toba dan Angkola serta sebagian Pakpak yang bermukin di pesisir pantai Barat Sumatera Utara yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Melayu Pesisir Barat (Mirip bahasa Minang). Mereka ini sudah ratusan tahun menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibunya dan umumnya juga beragama Islam.

Mereka ini adalah keturunan masyarakat Kesultanan Barus Hilir (Dinasti Pardosi) dan Barus Hulu (Dinasti Pasaribu) yang pernah berjaya di sana selama berabad-abad silam. Daerah mereka di sekitar pesisir pantai Barat ini adalah merupakan bekas pelabuhan dagang selama ribuan tahun. Hal inilah yang telah menjadikan mereka mengenal pergaulan dengan dunia luar sehingga mengadopsi bahasa Melayu yang pada saat itu merupakan bahasa pengantar perdagangan sebagai bahasa ibunya.

Dalam urusan adat umumnya mereka masih menggunakan adat Batak dan kesatuan marganya. Akan tetapi budaya mereka cenderung sudah bercampur karena lebih dominan budaya pesisir dan bahasa Melayu Pesisir yang lebih dekat dengan Bahasa Minangkabau.

4. Selain Batak Dalle di atas sering juga terdengar istilah Karo Melayu. Mereka ini adalah keturunan Karo yang juga beradaptasi dan berakulturasi menjadi orang Melayu. Umumnya di Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, sebagian Asahan, dan daerah Langkat.

Mereka adalah warga Karo Jahe (Karo bawah) yang wilayahnya dikuasai oleh Kesultanan Melayu Deli dan Kesultanan Langkat. Oleh kesultanan2 Melayu tersebut mereka tidak dijadikan sebagai warga taklukan, akan tetapi diakui sebagai warga kerajaan tersebut. Selama berabad mereka menjadi orang Melayu dengan membuang merga(marga) Karonya, memeluk agama Islam dan berbahasa Melayu dalam kesehariannya.

Kesultanan Melayu Langkat, Kesultanan Melayu Deli, dan Kerajaan Haru di Medan sesungguhnya menurut catatan sejarah juga didirikan oleh orang2 Batak Karo yang juga mengadopsi budaya Melayu dalam segenap aspek kehidupannya. Oleh sebab itu kesatuan antara Pihak Kesultanan dengan warga Karo Melayu seolah tidak terpisahkan, karena memang mereka umumnya berasal dari Suku Karo dengan sedikit campuran Melayu dari pesisir pantai.

Dalam perkembangan selanjutnya juga banyak berdatangan orang Karo Gunung (karo Atas) dari Tanah Karo ke wilayah Langkat,Medan dan Deli Serdang. Mereka pun akhirnya juga mengubah identitas diri mereka menjadi orang Melayu. Mereka inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Karo Melayu.

Seperti para Batak Dalle di Sumatera Timur, para Karo Melayu ini pun akhirnya juga mulai banyak yang kembali menyadari asal usul keluarganya. Pada tahun 1050-sekarang, mulai banyak mereka yg kembali menggunakan Merga (marga) Karonya. Akan tetapi budaya, bahasa daerah Karo, dan adat istiadat Karo mereka yang sudah hilang selama beberapa generasi memang sukar untuk dikembalikan. Sehingga mereka tetap diklasifikasikan sebagai warga Karo Melayu.

Istilah Batak Dalle jarang disebutkan untuk orang-orang Karo Melayu ini, karena lebih umum disebut Karo Melayu, dan mereka pun cenderung lebih suka mengklasifikasikan dirinya sebagai orang Melayu.

 Efek Negatif yang Diakibatkan Oleh Batak Dalle 
    1.  Hilangnya Nilai-Nilai Kearifan Budaya Lokal (Batak)
    2. Tidak berjalannya Fungsi sejarah dalam pembangunan bangsa, kesadaran sejarah, identitas dan kepribadian nasional
    3. Tidak adanya peran dan fungsi kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional dalam rangka penguatan dan pelestarian hukum-hukum adat di daerah. 
    4. Masuknya Pengaruh Negatif Era Globalisasi :
      §  Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
      §  Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
      §  Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
      §  Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
      §  Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

      ·         Fungsi Sejarah sebagai Identitas Diri
      Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengapa identitas diri sebagai orang Batak sangat dibutuhkan dalam menghadapai era globalisasi, selain untuk memahami nilai-nilai kebaikan sebagai orang Batak, didalam agama dan Undang-undang dasar 1945 juga ditegaskan perlunya “PERAN DAN FUNGSI KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DALAM RANGKA PENGUATAN DAN PELESTARIAN NILAI-NILAI ADAT ISTIADAT DI DAERAH”
      A.      Menurut Ajaran Agama Islam (Sumber: http://isidunia.blogspot.com/2011/12/fungsi-sejarah-menurut-al-quran.html)
      Kitab Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya yakni Zabur, Taurat dan Injil. Dalam surat Yunus ayat 57, al-Qur’an disebut juga mau’idzoh yang berarti peringatan. Al-Qur’an yang hampir sepertiganya berisi kisah masa lalu dari ummat-ummat terdahulu baik yang shaleh maupun yang ingkar bagaimanapun seharusnya berfungsi sebagai pengingatan ummat yang hidup hari ini agar berkaca pada masa lampau. Secara tidak langsung, bisa dimaknai bahwa Islam memerintahkan pemeluknya untuk berkaca dan belajar pada sejarah melalui tadabbur dan tafakkur atas ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur’an.
      Mengapa sejarah demikian penting menurut Al-Qur’an? Dalam surat Huud ayat 120 yang artinya “Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada empat fungsi sejarah yang tersurat di sana, yaitu:
      1. Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati
      Dalam surat al-Kahfi, Allah SWT mengisahkan ada sekelompok pemuda yang mengasingkan diri ke dalam goa dalam rangka menghindari pemimpin dhalim yang memimpin negeri mereka. Dalam upaya menyelamatkan imannya itu, atas izin Allah SWT, mereka tertidur dalam goa tersebut selama 309 tahun. Ketika terbangun, mereka sudah menemukan hewan yang dibawanya hanya tersisa tulang dan ketika mereka menuju ke sebuah pasar untuk membeli makanan, uang yang dipakai untuk membayar sudah tidak laku lagi. Pemimpin dhalim yang mengancam iman merekapun ternyata telah meninggal. Hikmah yang bisa diambil dari kisah pemuda kahfi bahwa keimanan atas Allah SWT perlu diperjuangkan penuh pengorbanan. Teladan dari ashabul kahfi itu seharusnya bisa meneguhkan hari kita agar selalu beriman kepada Allah SWT.
      2. Sejarah berfungsi sebagai pengajaran
      Dalam surat al-‘Araf 73-74, Allah SWT mengisahkan bagaimana Allah SWT memberi peringatan kepada Kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shaleh AS yang ingkar kepada Nabi dan Tuhan mereka. Mereka justru memahat gunung-gunung menjadi rumah-rumah yang megah dan mewah serta melupakan nikmat-nikmat yang telah diberikan. Mereka beramai-ramai juga membunuh unta Nabi Shaleh yang merupakan mukjizat yang diberikan Allah SWT. Maka Allah SWT kemudian mengirimkan petir yang menggelegar dan meluluh lantakkan kaum Tsamud. Namun menariknya, Allah SWT masih menyisakan bangunan-bangunan tersebut sebagai pengajaran kepada manusia yang hidup setelahnya bahwa dahulu, sebelum masehi, perkembangan arsitektur manusia sudah berkembang pesat. Sebuah simbol peradaban manusia pada zaman lampau yang dicatat oleh al-Qur’an sebagai pengajaran bagi manusia hari ini.
      3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
      Banyak kisah masa lalu dalam al-Qur’an yang bisa diambil pelajaran. Kisah Fir’aun yang menentang Nabi Musa AS hingga akhirnya ditenggelamkan ke dalam Laut Merah salah satunya. Keangkuhan Fir’aun tidak hanya dalam penentangannya atas Nabi Musa AS. Lebih dari itu, dia mengaku menjadi Tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan manusia. Hingga hari ini, jasad Fir’aun atau Pharaoh yang menjadi raja Mesir ketika itu masih bisa disaksikan disemayamkan di bawah Piramid di daerah Giza, Mesir. Melalui sejarah tentang Fir’aun yang termaktub dalam al-Qur’an, Allah SWT ingin memberi peringatan kepada manusia agar tidak sombong dan ingkar kepada peringatan Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul. Terlebih lagi mengaku dirinya lebih hebat ataupun setara dengan Allah SWT, ataupun menuhankan Tuhan lain selain Allah SWT. Na’udzubillahimindzalik. 

      4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
      Jaminan kebenaran al-Qur’an telah termaktub tegas dalam surat al-Baqarah ayat 2, “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Jadi, kisah-kisah sejarah yang termaktub dalam kitab ini mutlak kebenaran dan keabsahannya. Sejarah yang ditulis al-Qur’an bukanlah sejarah yang penuh rekayasa dan sarat kepentingan seperti halnya sejarah-sejarah yang ada sekarang. Fakta-fakta sejarah dalam al-Qur’an sangat bisa dijadikan sumber sejarah. Historiografi dalam al-Qur’an bisa dijadikan contoh bagaimana seharusnya sejarah ditulis. Allah SWT sangat expert memberi contoh bagaimana menulis sejarah.

      5.      5. Sejarah untuk Masa Depan
      Dengan sejarah yang tertulis dan dikisahkan oleh al-Qur’an, umat Islam dituntut untuk bisa berfikir (Al-A’raaf : 176). Maksudnya, manusia seharusnya menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillah. Apa yang terjadi pada masa lampau seharusnya dijadikan pelajaran berharga dalam menjalankan tugas-tugas kekhalifahan manusia hari ini.
      Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu janji dari Allah SWT yang mesti terjadi. Allah SWT pun menyampaikan, layaknya roda, hari-hari itu berputar, begitu juga nasib manusia yang diganti, sesekali merasakan di atas dan sesekali merasakan di bawah. Perputaran itu bisa kita lihat dari sejarah. Selamat bermuhasabah dengan sejarah. Wallahua’lam bisshawab.

      B. PERAN DAN FUNGSI KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DALAM RANGKA PENGUATAN DAN PELESTARIAN NILAI-NILAI ADAT ISTIADAT DI DAERAH (oleh : Prof H.M. Hadin Muhjad, SH, M.Hum)

      1. Pendahuluan
      Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberikan definisi Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari empat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dari pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
      Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga ha rus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.
      2. Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945
      Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
      Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
      Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan  dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
      Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
      Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :
      1).     Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;
      2).     Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
      3).     Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
      4).     Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
      5).     Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
      6).     Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)
      Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:
      1.      Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
      2.      Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
      3.      Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
      4.      Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      5.      Diatur dalam undang-undang
      Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
      1.      Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
      2.      Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
      Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
      Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
      (1)    Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
      (2)    Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
      Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.
      3. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan
      Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun  2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
      1.      Undang-undang Dasar 1945;
      2.      Undang-undang/ Perpu
      3.      Peraturan Pemerintah;
      4.      Peraturan Presiden
      5.      Peraturan Daerah;
      Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
      Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975  telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim
      4. Hukum Adat sebagai pelestarian nilai-nilai adat istiadat.
      Kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.
      Dalam berbagai rumusan peraturan Orde Baru kita dapat membaca bahwa negara sangat besar kekuasaannya, pandangan seperti mlsalnya ketentuan UUPA:
      hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan pembangunan. Disini kita melihat kekuasaan yang mutlak dart
      negara, karena berdasarkan interpretasinya hak ulayat yang telah lama dimiliki oleh
      masyarakat adat, dapat dihapuskannya.
      Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat
      Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati
      nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai
      dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
      kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan
      Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan
      pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional
      dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

      Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

      Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
      Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
      Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
      Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
      1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
      2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
      3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
      Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
      Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

      Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
      stay younger