Sunday, September 30, 2012

Suhunan Situmorang : MANAKALA 30 SEPTEMBER TIBA

Suhunan Situmorang
Apa yang ada di benak atau dalam bayangan umumnya orang, setiap 30 September tiba? Yang dominan adalah ini: segerombol orang, bermaksud mengambilalih kekuasaan di negara ini, para tentara yang dibina atau pendukung Partai Komunis Indonesia/PKI. Mereka membunuh tujuh jenderal dan perwira menengah dan satu gadis kecil bernama Ade Irma, putri satu jenderal yang lolos dari incaran. Pembunuhan yang didahului penculikan, sadis, barbar, perbuatan orang-orang yang tak bertuhan.

Letkol (AD) Untung menjadi tokoh sentral, pemimpin pemberontakan tersebut. Dan Suharto, yang kemudian jadi Presiden RI, dianggap hero, paling berjasa menumpas kudeta tersebut, yang kemudian menjadi presiden terlama berkuasa di negara ini. Ia berhasil menyeragamkan anggapan dan sikap "nasional": PKI mau kudeta, jenderal-jenderal yang dituduh agen neo imperialisme dibunuh, Pancasila akan diganti dengan ideologi komunisme.
Sejak itu, hari-hari sesudah tgl 30 September 1965, terjadilah tindak pembantaian dan penyingkiran jutaan manusia, warga negara Indonesia, yang disebut, dituduh, atau diduga, anggota PKI. Harap diingat, sebelum peristiwa itu, PKI, parpol nomor dua terbesar di negeri ini! Jumlah anggota-simpatisan, diperkirakan 35-40 juta orang! Amnesti Internasional pernah melansir: 5 juta orang yang dituduh PKI mati dibantai militer yang mengambilalih kekuasaan, dibantu ormas-ormas agama dan masyarakat yang  membenci PKI! Belasan juta teraniaya, disudutkan, dihujat, bahkan keturunan dan sanak-saudara mereka.

Semasa kekuasaan Suharto yang disebut Rezim Orde Baru, PKI, "kiri", adalah hantu yang menakutkan. Momok yang  melumpuhkan bagi siapapun yang  dianggap terlibat, yang "diwariskan" pada keturunan mereka. Yang  lolos dari pembunuhan, ditangkap, dipenjara, dibuang, tanpa sempat diadili: untuk membuktikan kesalahan mereka.

Mencabut nyawa seseorang, saat itu, semudah mencabut nyawa ayam. Seseorang bernama Paijo, petani di sebuah desa di Jawa Tengah yang cuma punya kartu anggota partai, bisa ditunjuk atau dimasukkan daftar orang yang ikut dieksekusi, bahkan sebelumnya dipaksa menggali lobang kubur sendiri. Liang kubur ukuran besar krn akan menampung banyak tubuh!

Wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, disebut-sebut, yang paling banyak mengalami pembantaian manusia, warga negara republik ini, hanya karena mereka memiliki kartu anggota PKI atau dianggap simpatisan, yang tak tahu menahu dengan gerakan yang disebut G 30 S PKI itu; akronim sebuah tindak kejahatan yang amat mengerikan, buatan rezim Orba.

Sebelum peristiwa itu, PKI, sama kedudukan dan status di mata hukum negara. Sah sebagai parpol, sebagaimana kedudukan parpol-parpol sekarang. Menjadi pengurus, anggota, atau simpatisan partai, sama halnya dengan pengurus, anggota, atau simpatisan untuk parpol sekarang. Entah itu Golkar, PDIP, PKS, Demokrat, Gerindra, Hanura, PAN, PPP, dan puluhan parpol lain. Tak jauh beda, ideologi dan olatform partai saja yang beda, namun sah, legal, konstitusional. (Masa itu).

***
Nasib manusia, ternyata, bisa diubah seperti membalik telapak tangan. Yang sebelumnya elite parpol, petinggi negara, orang kaya, kalangan terhormat, bisa sekejap menjadi pesakitan, masuk ke dalam klasifikasi kaum paria yang hina, menjijikkan, tak punya hak hidup. Keturunan kaum PKI (bahkan hanya simpatisan) bisa mengalami penderitaan, pengucilan, laksana penderita kusta, dan kematian perdata yang membatasi hak sebagai warga negara, selama tiga puluhan tahun--tanpa pernah melakukan kesalahan atau tindsk kejahatan yang melanggar hukum negara.

Saya teringat beberapa kawan, dua di antara mereka gadis cantik yang menarik, pintar, teman satu sekolah di SMA 14 Jakarta. Mereka anak-anak tentara (AU) yang karena peristiwa dan gencarnya doktrin Orba, membuat mereka tak bisa tersenyum penuh, sulit tertawa lepas, sebab ada bisik-bisik yang membayangi (yang bahkan, sebagian guru turut menyebarkan): mereka anak-anak PKI! Mereka telah menjadi anak-anak bangsa yg dirampas hak menikmati negara merdeka.

Seorang di antara dua gadis yg "exciting" itu, kami panggil Ap**, hingga kini masih terbayang sesekali. Wajahnya yang cantik Jawa, tubuh yg bagus, rambut bergelombang, mata yang memikat dan suara yg meluncur dari sela bibirnya yang indah, ah...., menjadi idaman bagi pria sebenarnya.

Entah di mana dia kini, bisa jadi ia seseorang yang berhasil di pekerjaannya karena kepandaiannya. Kuharap ia dapatkan lelaki yang sungguh-sungguh menyayanginya, tanpa sekalipun menyakiti hatinya dengan mengait-ngaitkan status hukum ayahnya, perwira menengah yang disingkirkan Rezim Orba.

Teringat pula saya 21 thn silam, saat hendak menikah di usia 30 thn. Aang tertua, tentara (AU) berpangkat Marsekal Madya yang disiapkan jadi anggota legislatif utusan ABRI di DPR-MPR, secara halus mengusut saya: Apakah calon mertua saya, yang semarga dengan ibu kami, tidak terlibat atau ada sanak-saudaranya yang dicap "kiri"? Jawaban atas pertanyaan tersebut, amat penting bagi anak sulung orangtua saya itu, yang akan berpengaruh pada litsus (penelitian khusus) yang tengah dijalaninya, dalam rangka persiapan sebagai representasi ABRI di Senayan.

Saat itu saya tersenyum, walau agak kecut, lalu berkata, "Tulang kita itu tokoh gereja GKPI, termasuk tokoh SOKSI di Sibolga, pengurus Golkar, walau tidak aktif lagi karena berkonsentrasi mengurus bisnisnya." Mendengar itu, wajah si abang sumringah, sebab bakal besan bapak kami, bebas bersih dari kiri, yang akan memuluskan karirnya. Saat itu, di benak, saya bertanya-bertanya denganperasaan gelisah: Apa jadinya andai perempuan yang telah saya pilih jadi pendamping hidup, istri, datang dari keluarga penganut kiri atau yang dikenai stigma PKI? Apakah rencana pernikahan yang tinggal menunggu bulan hrs diakhiri? Apakah hak-hak individual saya, memilih istri yang dicintai dan percayai sebagai pasangan jiwa, hrs dikebiri demi kemulusan karir saudara sendiri?

Tentu saja pergumulan tersebut tak saya sampaikan pada kakanda yang amat kami hormati (dan segani) itu. Dia kebanggaan utama ayah-ibu, juga kami adik-adiknya yang jumlahnya 10. Dia adalah perintis jalan, membuka gerbang menuju kemajuan, walau secara materi (sebagai tentara muda lulusan AKABRI) tak memiliki cukup uang membiayai adik-adiknya. Ia lebih berposisi sebagai panutan, stimulan, pemicu semangat bagi adik-adiknya--namun, itupun sangat penting bagi kami, saat itu.

***
Manakala 30 September tiba, pergumulan saya 21 thn lalu itu masih saja menguak. Apa jadinya andai calon istri yang saya pilih, ternyata tak "bersih lingkungan", atau ada kerabat dekatnya yang terlibat PKI? Apakah saya harus membatalkan, demi kemulusan karir si abang? Terus terang, tak usah melapis-lapis agar terkesan "jantan", "kesatria", lelaki penuh tanggungjawab, saya akui: itu akan memaksa saya mengambil keputusan! Saya yakin, cerita bisa lain, karena tak cukup keberanian mengambil tindakan yang akan mengundang kontroversi atau problem bagi keluarga besar, keturunan ayah-ibu saya.

Dan, tiap 30 September tiba, sering pula terungkit sebuah keinginan, mau tahu di mana sekarang Ap**, dan teman-teman sekolah lain yang dituduh "anak PKI." Sehatkah dia? Bahagiakah dia? Andai kami bisa jumpa, ada satu hal yang ingin kukatakan pada dia: Maafkan saya karena dahulu ikut-ikutan terpengaruh stigma yang disebarkan Rezim Orba, juga guru dan kawan-kawan sekolah, hingga curiga, syak-wasangka, mewarnai hubungan perteman kita dan teman-teman lain seperti dirinya.

Hanya itu.***
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger