Sunday, March 18, 2012

Batak Toba Humanitarian of The Year 2012

Suhunan Situmorang, Seorang Tokoh Kemanusian Batak Dari Peradaban Modern

 Nama Suhunan Situmorang memang belum sebesar tokoh-tokoh Batak pada era tahun 1900 hingga Tahun 2000 yang pernah,  maupun masih ada seperti Letjend TNI TB.Simatupang, Maraden Panggabean, Jend TNI (Purn) Luhut Panjaitan, Mayjen (Purn) TB.Silalahi yang aktif membina perkumpulan Batak dan berbuat di Tanah Batak dengan menunjukkan hasil karyanya. Begitu juga tokoh-tokoh yang mengangkat Batak lewat seni dan karya tulis, dan aktivis-aktivis lingkungan hidup yang konsisten mencuatkan keBatakan dan daerah Batak (Tano Batak) yang belum disebutkan satu persatu oleh penulis.Banyaknya tokoh-tokoh tersebut selain jabatan yang diperoleh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, nama-nama seninam yang menghasilkan karya lewat berbagai seni, budayawan, akademisi, dan aktivis-aktivis lingkungan hidup tidak terlepas dari peranan media yang membesarkan (mem blow-up) setiap hasil karya dari mereka sehingga menjadi terkenal baik di Indonesia terutama di kalangan Batak.     

Tapi apa yang menjadi keunikan Suhunan Situmorang yang akrab dipanggil SS ini, orang yang mengenal, para  pembaca, penikmat dan orang-orang yang mampu mengartikan dan mencoba menganilisis kehidupan yang terjadi pada kehidupan modern Batak sekarang, sehingga beliau menjadi tokoh pribadi yang menyentuh perasaan (Humanis) dan moralitas kehidupan sebagai orang Batak terutama generasi Muda. Beliau (Suhunan Situmorang) yang juga aktif sebagai penggiat lingkungan hidup terutama dalam memberi perhatiannya ke Tano Batak dan Danau Toba, melalui tulisannya baik essai, maupun tulisan kecil lewat statusnya di jejaring sosial sering  menyinggung dan mengingatkan tentang esensi kehidupan sebagai orang Batak terutama generasi muda Batak, seperti pola hidup konsumeristis, iri dan dengki (Hotel dalam istilah Batak), dan pemahaman tentang sekulerisme, kehidupan berumah tangga Batak, Kapitalisme, Kepemimpinan dan tentunya perhatian terhadap Tano Batak dan Danau Toba.

Kegemaran orang Batak membaca lewat hasil karya tulis dan mengargai, serta meneliti suatu karya yang ternyata berguna bagi kehidupan untuk generasi berikutnya memang belum seperti orang-orang pada negara-negara maju. Tapi peluang dan menjadi orang-orang yang berpikiran maju pada orang-orang Batak sangatlah besar. Ini dapat dilihat dari kegigihan orang-orang Batak memperoleh pendidikan dan banyak yang berhasil dalam bidang akademisi serta sesungguhnya memiliki potensi yang mampu mengembangkan Tanah Batak (Bonapasogit). Dalam tulisan singkat ini penulis tidak bermaksud mencari perhatian dari sosok yang dituliskan (tokoh yang dimaksud) tetapi memahami dan sangat menghargai sisi humanis dari karya seorang Suhunan Situmorang yang sangat berharga bagi kehidupan generasi muda Batak berikutnya demi, untuk dan bagi orang Batak itu sendiri serta Tano Batak dan Danau Toba, dengan membaca, mencari, menghayati dan menganilisis secara pribadi dan mengikuti beberapa pendapat yang dikemukan oleh beberapa orang yang mungkin memiliki persepsi yang sama dengan penulis melalui sumber sumber(googling/surfing di Internet) dan karya beliau di media cetak (Batak Pos).

Tulisan ini juga diperuntukkan bagi teman-teman generasi muda Batak untuk mencari dan memahami karya tulis Suhunan Situmorang, sekaligus menantang dan memberi semangat Suhunan Situmorang untuk trus berkarya, serta mengajak membimbing dan menyertakan generasi muda Batak dalam mewujudkan karya nyata untuk tanah Batak dan Danau Toba. Penulis yang tidak mengenal Suhunan Situmorang (SS) secara pribadi langsung, hanya melalui karya tulis dan rekomendasi dan hasil diskusi dari seseorang yang dianggap pejuang pemerhati Tanah Bataktanpa tanda jasa    almarhum Robert Manurung (yang dikenal langsung oleh penulis).Beberapa Karya dan Pendapat Tentang Suhunan Situmorang oleh Jhon Ferry Sihotang

Bukan Soal Otoritas untuk Menentukan Jalan Hidup
Oleh: Suhunan Situmorang*

KALAU tak salah, kejadian yang menggemparkan warga Pangururan dan sekitarnya itu terjadi pada 1976, saat saya pelajar SMP kelas tiga. MS, pak guru yang juga mantan wali kelas kami ketika kelas dua, kawin lari dengan seorang perempuan lajang yang juga ibu guru kami, boru Rtg. Andai MS belum menikah dan punya istri-anak, bisa dipastikan tak sehebat itu goncangan yang terjadi pada mayarakat kota mungil nan permai di tepi Danau Toba itu. Atau, kegoncangan tak akan sedahsyat itu andai yang diboyong MS bukan perempuan yang terlanjur dipujikan dan hormati hampir semua orang yang mengenal diri dan orangtuanya.

Ibu guru yang mengajar Bahasa Indonesia itu bukan sekadar guru, memang. Sosoknya mengundang puji dan kagum. Perilaku kesehariannya menjadi panutan kalangan orangtua, terlebih kaum ibu, yang acap mengujar terhadap anak gadis mereka agar dicontoh. Ia terbilang pendiam, berpenampilan menarik dan sopan. Senyumnya menawan, tak pelit disungging pada siapapun yang kebetulan berpapasan dengan dirinya. Rambut panjangnya yang lebat kerap melambai-lambai manakala ia menunggang sepeda motornya yang kala itu disebut ‘honda cup’. Sepanjang jalan yang dilaluinya bagai tersihir: tua-muda dan anak-anak, menolehkan mata hingga ia lenyap di ujung jalan.

Nilai lebih perempuan yang taksiranku beruia 24 atau 25 tahun itu, bisa jadi terbangun dari aktivitas dan perhatiannya yang tinggi pada dunia gereja (HKBP). Selain dirijen koor NHKBP, ia pun mengepalai guru sekolah minggu, dan saya termasuk yang diajarinya hingga memasuki usia pra-remaja. Manakala ia mengajar (di sekolah minggu dan kemudian di SMP), murid-murid akan tertib bagai dibius kharismanya yang menyembur dari wajahnya yang teduh. Di pikiran nakalku yang mulai mendekati pubertas, acap ia menyelinap ke ruang khayal yang amat pribadi, hingga kadang sulit membangun konsentrasi untuk menyimak ajarannya.

Kadang ia kubayangkan personifikasi malaikat-malaikat sorgawi yang mendarat di bumi Samosir, kadang bagai salah satu perempuan yang setia mengikuti perjalanan Yesus Kristus saat mengunjungi warga Galilea, Tiberias, atau Nazareth. Bila ia mendekat atau memintas–sembari menerangkan pelajaran–harum badannya akan menguap tipis, tersembur dari aroma bedak yang mungkin merek Fambo, Viva, Harmoni, atau sabun Camay, dan itu sungguh “berbahaya”. Pikiran-pikiran liar kian menyiksa.

Di benakku–dan saya pun yakin demikian halnya kawan-kawan sebaya saat itu–ia bagai tak punya dosa; doanya pun senantiasa meluncur mulus ke telinga Bapa yang tengah duduk di singgasana kerajaanNya mengamati jagad raya.
Ia putri seorang tokoh gereja yang amat berpengaruh di Pangururan dan wilayah Samosir, meski asalnya dari Bungabondar, Sipirok (Tapanuli Selatan). Anak-anak ayahku memanggilnya ‘ompung’, lelaki tua bertubuh tambun, berkumis dan berjenggot lebat yang sudah memutih, berkulit putih bagai turis bule yang sering wara-wiri di Pangururan. Si ‘ompung boru’, ibunya ibu guru yang memikat itu, juga wanita Batak dari Selatan. Kulitnya pun putih macam bukan orang Batak umumnya, wajahnya teduh, sehari-hari berjualan aneka jajanan yang amat lezat di kedai kopi mereka yang besar, sebuah bangunan bertingkat di sisi perempatan menuju lapangan bola yang kami sebut ‘tano lapang’.
Pasangan ompung yang amat dihormati itu memiliki putra-putri yang semuanya–istilah kita sekarang–’educated’ dan beberapa berkedudukan sebagai amtenar. Lelaki bungsunya kemudian jadi dokter, yang masa itu terbilang profesi yang tak terbayangkan betapa sulit diraih, sementara putri tertuanya bidan senior yang mungkin sudah tak terhitungnya lagi berapa bayi dikeluarkan tangannya dari rahim para ibu di sekitar Pangururan, termasuk saya.

***
KEDEKATAN ibu guru yang mempesona dengan lelaki berinisial MS, guru galak yang kalau marah gelegar suaranya bisa membuat cicak dan laba-laba di ruang kelas ikut gemetaran, tak hanya di sekolah (SMP 1). Mereka sama-sama aktivis gereja. MS memang memiliki keahlian sampingan sebagai dirijen koor, pandai mengaransemen lagu, hingga selain NHKBP binaannya, koor kaum bapak ‘Parari Sabtu’ di mana ayah saya dan si ‘ompung’ menempati posisi vokalis bas, kerap memenangkan festival koor antargereja hingga level Tapanuli Utara.

Tapi, sungguh tak ada yang pernah menduga bahwa antara mereka berdua ada apa-apa menyangkut hawa asmara. Bila pun mereka acap pulang malam dari gereja karena ‘margurende’ dan sermon, selalu dibarengi teman-teman mereka yang lain–termasuk NHKBP yang searah jalan pulang dengan mereka.

Suatu pagi, Pangururan yang adem, gempar. Bu guru yang diam-diam kerap kukhayalkan (dan ternyata tidak hanya saya karena pengakuan teman-teman sebaya di kemudian tahun, sesudah besar dan pulang dari perantauan, kombur-kombur di tepi danau sambil bernyanyi diringi gitar), meninggalkan secarik surat sebagai pertanda: ia sudah memilih ikut MS atawa “mangalua” ke suatu tempat yang tak diberitahu. Berita “runway bride” itu merebak cepat, menjalar kemana-mana, tanpa bantuan sms atau email macam sekarang.

Pangururan dan desa-desa di sekitarnya tak hanya gempar, juga sontak-mendadak dikurung mendung. Wajah orang-orangtua terlihat murung, remaja dan anak-anak tak henti-henti menggunjing dengan mimik keheranan–dan juga sok lebih tahu ketimbang orang dewasa. Semua warga seperti ditikam MS dari belakang, melukai jiwa, mencecerkan noda-noda berbau busuk. Kedai kopi merangkap rumah si ompung lantas tutup, sesekali saja tetangga, teman gereja, keluar masuk. Ayah dan ibuku beberapa kali mengunjungi si ompung, sepulangnya wajah mereka terlihat muram.
MS tak hanya disesalkan, juga dihujat! Pihak kerabat dan marga istrinya atau “hula-hula”-nya, tentu marah besar. Si istri yang pendiam, bertubuh kurus dan dalam keseharian jarang senyum dan wajahnya seolah menyimpan tekanan batin yang berat, mengurung diri di rumahnya. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil ikut nelangsa, ayah mereka tak habis-habis dikecam tetangga dan warga.

***
RUPANYA, MS dan ibu guru yang sudah mengecewakan itu tak saja mengguncangkan “stabilitas sosial”, meruntuhkan norma-norma adat dan menjungkirbalikkan nilai-nilai ajeg anutan masyarakat adat dalam sekejap, juga membuat orang-orang, diam-diam atau terang-terangan, mempertanyakan motivasi, dampak atau pengaruh bagi seseorang yang menerjunkan diri secara total di lingkungan gereja–yang di benak mereka sudah terlanjur terpatri bayangan sebuah dunia yang suci dan putih hingga terus dihujani puji.

Bayangan dan ekspektasi warga yang sedemikian besar dan luhur itu tentu tak layak disalahkan. Sudah “kodrat” manusia beradab atau tak beradab yang harus tetap memerlukan aturan, setidaknya sebagai penuntun sikap-perilaku, juga semacam kiblat untuk memandu tindak. Para sosiolog dan antropolog sudah lama meyakini: seburuk-buruknya mentalitas dan perilaku suatu komunitas yang disebut masyarakat, tetap memerlukan tata, aturan, untuk dijadikan acuan pola-tingkah.

Paradoksnya, tata atau aturan itu sesungguhnya berasal dari apa yang disebut etika–tanpa selalu disadari orang-orang yang menganutnya. Kadar atau bobot etika itu saja yang berbeda-beda. Para mafia yang merasa biasa saja membunuh musuh, tetap punya aturan, norma-norma, walau cuma berlaku di kalangan mereka. Pengedar narkoba pun tetap memerlukan aturan, setidaknya kuat mengajarkan: tak boleh memberitahu siapa saja agen, bandar, atau jaringan perdagangan narboka. Para penjual seks pun ada aturan, tak boleh menyerobot langganan kawan sesama penjaja.

***
MS dan ibu guru yang tak lagi kukagumi itu mungkin sadar bahwa mereka telah meruntuhkan hal yang paling hakiki dimiliki atau diharapkan orang-orang, yang terlanjur diletakkan di pundak mereka: sebagai panutan. Tapi orang-orang tak mau tahu bahwa mereka hanya manusia biasa, yang berhak jatuh cinta dan melanjutkan ke jenjang perkawinan, agar tetap bersama di sepanjang masa.

Kemudian hari semakin saya sadari, kekecewaan orang-orang yang begitu dalam pada mereka dan hingga kini (puluhan tahun kemudian) tetap dicibir, bukan semata-mata karena dua orang baik, bekerja sebagai pendidik, kerap “bermain di halaman” yang diyakini sebagai rumah Tuhan, begitu tega menorehkan luka yang amat pedih pada jiwa seorang wanita beranak banyak. Namun karena mereka telah pula mengoyak dua hal yang amat sensitif dalam tiap sanubari manusia waras (saya sebut saja dalam Bahasa Inggris karena maknanya tak cukup kuat bila disebut dalam Bahasa Indonesia): “trust” dan “sense of justice”.

Saya kira, luka yang sama pula yang kini ditorehkan Joy Tobing pada orang-orang yang mengecam perkawinannya dengan lelaki beranak dua yang baru saja menceraikan istrinya, Daniel Sinambela. Saya tak akan mengajak kalian memilih sikap: memaklumi atau membenci Joy atas nama ‘hak seseorang’, ‘sudah rencana Tuhan’, apalagi bila diimbuhi ‘jangan menghakimi orang lain’.

Saya serahkan saja pada bisik nurani kita masing-masing. Yang jelas, persoalan semacam ini bukan semata-mata masalah otoritas seseorang untuk mengimplementasikan jalan hidupnya, juga menyangkut pertanyaan yang amat fundamental dalam diri manusia waras: etis tidaknya perbuatan itu dan adil tidaknya tindakan seperti itu. ***

* Pengacara korporasi, peminat budaya, penulis novel SORDAM, bermukim di Jakarta.
(Kolom di BATAK POS, Sabtu 1 April 2010)
Buku Sordam: Menjadi Seorang Batak yang Bernilai

Sordam
by Suhunan Situmorang
Published: November 2010 by Pena Biru
Details: Paperback, 397 pages
Isbn13: 9797800091

Oleh: John Ferry Sihotang
Kearifan lokal adalah kearifan yang terlupakan. Itulah kenyataan pahit di tengah kebisingan globalisasi informasi saat ini. Yang lokal menjadi tersingkir oleh serbuan  peradaban yang kian hari kian membusuk ini. Penyeragaman dipaksa menjadi sebuah keniscayaan, lantas keberbedaan dianggap kekolotan. Meriapnya materialisme dan individualisme dalam
mentalitas-budaya masyarakat kita, adalah penyebab utama alpanya yang lokal itu. Tak jarang pula kita saksikan akhir-akhir ini, saat kemunafikan dan ketidakberanian menampilkan kesejatian diri, menjadi hal lumrah. Kearifan lokal, yang sejatinya sebagai keunikan ragam suku di negeri ini, sungguh telah kian tergerus arus zaman.

Tema lokalitas itu kini mulai digali kembali oleh beberapa pemikir, termasuk para penyair, cerpenis, dan novelis; salah satunya tertuang dalam Novel Sordam ini. Rupa-rupanya, yang lokal bukanlah sekadar masa lalu yang terkubur, membeku, apalagi tanpa makna. Memang kita tak mungkin kembali ke masa lalu, namun apa yang ada di waktu lampau tetaplah memiliki nilai-nilai tradisional dan norma-norma hidup yang layak ‘diselamatkan’ kembali, untuk kekinian. Maka, yang lokal itu dapat dilihat sebagai alternatif baru untuk mengarungi keseharian yang makin miskin spritualitas ini. Dalam konteks “Sordam” ini, kearifan lokal suku Batak menjadi tema sentral – berikut persinggungannya dengan suku lain, bahkan bangsa lain.

Apa jadinya bila manusia menjadi terasing dan tercerabut dari akar tradisi-budaya yang melahirkannya? Apakah harga diri seorang Batak hanya diukur dari kuburan yang megah, pesta adat yang besar, penampilan yang mewah, kekayaan, bahkan jabatan? (hal. 185). Apakah masih perlu mempertimbangkan dan menaati serta menyikapi kepatuhan, nilai-nilai, norma-norma adat dan hukum adat? Kira-kira itulah beberapa pertanyaan yang mau diselami penulis dalam Novel ini – sekaligus hendak memperkenalkan bumi leluhurnya: Tano Batak – Danau Toba, yang bak ratna mutu manikam di Nusantara ini.

Kecenderungan modernitas yang menggaungkan rasionalitas itu semakin mendepak intuisi dan naluri asali kita. Sebut saja soal adat dan ikatan perkerabatan.  Saya kira – mengamini penulis novel ini – keduanya tak melulu soal nalar dan rasio, akan tetapi soal naluri yang merekatkan dengan “yang lain”. Ironisnya, banyak yang sinistik dan salah menafsirkan, bahkan mencela tradisi-adat itu; bisa diduga, penerapannya pun menjadi dangkal.  Falsafah lokal itu bukanlah sejarah purba semata yang sudah kedaluwarsa.  Nilai-nilai tradisi-budaya yang ditanamkan leluhur kita, khususnya yang menjunjung tinggi ikatan kolektivitas dan kedekatan dengan alam itu, tetaplah sebuah pola berkehidupan yang berkualitas.

Novel yang menggabungkan realitas dan imajinasi ini bisa dijadikan sebagai refleksi dan introspeksi untuk bangsa ini – khususnya bangsa Batak – di tengah jamaknya kecenderungan semu mengagungkan materi, gengsi, dan puja-puji. Novel pertama Suhunan Situmorang ini adalah sebuah karya seni membenahi hidup. Penulis mencoba merengkuh esensi kehidupan yang kian menjelma gurun tandus keterpesonaan pada permukaan. Padahal kita telah mengidealkan, bahwa “hidup yang baik” adalah hidup seseorang yang benar-benar menjalani kehidupan dengan hormat dan bermartabat (sangap): bukan penindas, bukan perusak lingkungan, bukan penista kemanusiaan; akan tetapi yang punya afeksi peduli kepada alam dan sesama.

Dalam novel ini, Tulang SS — begitu saya memanggil budayawan Suhunan Situmorang, menyadari eksistensinya sebagai seorang Batak, dan tetap bangga dengan kebatakannya, kendati sistem adat dan nilai-nilai anutannya kerap menimbulkan masalah (hlm. 186). Dari kecintaan itu pula ia mencoba menyelami tradisi lokalnya, dengan kritis. Ihwal tradisi Batak, sikap dan pandangan Tulang SS jelas tertulis dalam buku ini: “Para leluhur membuat adat dan hukum adat, bukanlah untuk menyusahkan keturunan mereka. Tapi sebagai rambu-rambu dalam melakukan interaksi dan relasi sosial untuk menjaga harmoni. Dan mereka, generasi selanjutnya, sepatutunyalah menyelaraskan sesuai dengan konteks dan tuntutan zaman, berlandaskan filosofi kebatakan mereka.” (hlm. 187).

Karya Sordam ini juga menghadirkan problematika hidup berkebangsaan. Demikianlah, karya sastra yang baik memang semestinya menampilkan serentak mengkritisi banyak replika hidup dengan segala kompleksitas persoalannya. Lewat tokoh-tokoh Novel ini, penulis mengangkat masalah pluralisme,  perburuhan, hak-hak perempuan, religiositas, dll. Mungkin ada yang beranggapan novel ini terlalu melebar ke mana-mana atau terkesan ‘menggurui’. Namun, saya melihatnya bukan demikian. Karya ini justru menunjukkan diri penulis yang memiliki wawasan yang luas, mau berpikir mendalam, dan tidak terjebak dalam egosentrisme dan sukuisme yang sempit. Minat penulis yang tinggi akan filsafat, sastra, dan budaya, membuatnya berayun dengan tangkas menyentuh akar kenyataan hidup yang kadang penuh kontradiksi dan dilema ini. Kepiawaiannya mengolah kata dan makna, menjadi daya tarik tersendiri dalam penulisan karya ini: menciptakan ketersituasian tarik-menarik antara individualitas dan kolektivitas, terutama pada tokoh Paltibonar.
Paltibonar Nadeak, tokoh utama dalam novel Sordam ini, adalah sosok imajiner bagi manusia – bagi orang Batak khususnya. Saya katakan sosok imajiner, karena bisa jadi cermin bagi kita untuk memahami diri sendiri. Dan, Paltibonar menyadari eksistensinya tanpa menyangkal identitas diri dan sosialnya sebagai seorang Batak. Pun sebagai warga Indonesia, ia bersikap demokratis dan mempunyai keprihatinan tinggi kepada bangsanya, lalu berani menceburkan diri dalam persoalan kemanusiaan dan lingkungan. Paltibonar tak mau terlena dalam bujukan untuk konformis; yang hanyut dalam perburuan materi, pertarungan kapital, dan penghambaan diri pada kekuasaan semata. Karakter Paltibonar (seorang pengacara muda Batak) digambarkan sebagai seorang yang intelek, gigih, berpandangan luas, bisa bekerja di luar negeri, dan bersikap pluralis. Akan tetapi – seperti selalu disorot Tulang SS dalam kolomnya setiap hari sabtu di harian Batak Pos, yang lebih utama dalam diri Paltibonar adalah, integritasnya yang teguh memegang values tradisi, budaya, dan norma-norma adatnya.

Selain mencoba menepis anggapan-anggapan minor terhadap etnis Batak, novel ini ingin menawarkan syarat keotentikan menjadi manusia yang bernilai. Dalam asumsi saya, selain memiliki etika dan moral dalam hidup, bersikap jujur dan rendah hati; penulis juga mengagumi (bahkan terobsesi) pada manusia yang punya ketulusan, kepedulian, dan kebajikan pada kearifan lokalnya. Ke sanalah aku menghela pesan yang mau disampaikan novel ini: agar semakin banyak manusia (Batak) yang punya nilai.

Begitulah, novel ini menawarkan jalan untuk menjadi seorang (Batak) yang bernilai, menjadi “anak ni raja”, dalam kosa kata Tulang SS. Dari novel ini saya belajar, menjadi manusia Batak yang punya nilai berarti: menjadi manusia universal yang kaya spritualitas hidup, menjadi manusia Indonesia yang menghargai pluralitas dan memiliki kepedulian, sekaligus menjadi manusia Batak yang mencintai kearifan lokalnya – yang dengan demikian, mau me-revitalisasi tradisi budaya Batak itu sendiri. ***
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger