Monday, February 20, 2012

Toba Go Green vs Kebijakan Alam

Gema Toba Go Green sudah hampir senyap, namun reklamenya masih segar dalam ingatan. Reklame utama (baliho) yang lebih memamerkan wajah para petinggi pemerintahan ketimbang ajakan menghijaukan kawasan Danau Toba, seolah menyampaikan pesan bahwa gerakan itu adalah gerakan kalangan atas. Gerakan dari langit yang turun untuk menghijaukan kawasan Danau Toba.


Pasukan berseragam hijau yang menjadi ujung tombak gerakan itu juga seolah menyampaikan pesan yang lebih kuat, bahwa kawasan Danau Toba harus hijau, sehijau seragam prajurit itu dan alam yang keras akan ditaklukkan oleh pasukan yang sangat terlatih. Gerakan ini akan berbeda dari gerakan sebelumnya, karena dimotori dan dilakukan oleh pasukan yang ahli menembak - bukan ahli menanam - sehingga diharapkan akan lebih berhasil dari upaya-upaya sebelumnya.

Tentu kita mengapresiasi gerakan yang digagas oleh Pangdam I Bukit Barisan itu. Pangdam menyikapi lebih cepat dan lebih "wah" amanat presiden tentang Gerakan Menanam Satu Milyar Pohon, dari pada perangkat pemerintah daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi merehabilitasi lahan-lahan kritis. 



Toba Go Green adalah salah satu wujud gerakan menanam semilyar pohon yang diamanatkan oleh Presiden RI melalui Kepres No. 24 tahun 2008. Gerakan ini mengkhususkan diri untuk merehabilitasi lahan kritis di kawasan Danau Toba melalui penanaman 500 ribu pohon perbulan, selama tujuh tahun pada lahan seluas 380.134 ha. Dengan demikian total pohon yang akan ditanam akan mencapai 42 juta batang, suatu jumlah yang tidak sedikit. 

Gerakan menanam pohon bukanlah hal baru di kawasan Danau Toba. Status "kritis" yang melekat pada kawasan ini membuatnya selalu menjadi bulan-bulanan setiap gerakan penghijauan. Mulai dari Pekan Penghijauan Nasional (1961-1995), Gerakan Rehabilitasi Nasional Hutan dan Lahan (GNRHL) (2003 -2007), Hari Menanam Pohon Indonesia (2008), gerakan One Man One Tree (2009), Bulan Menanam Indonesia (2010) hingga yang terakhir Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon (2011) serta Toba Go Green. 

Melihat kepada banyaknya upaya-upaya rehabilitasi di kawasan ini, serta sudah dimulai sejak orde lama, patut kita mempertanyakan keberhasilan program-program tersebut serta penyebab selalu timbulnya lahan kritis. 

Walhi mencatat, capaian target GNRHL hanya 8.1 persen (243.516 ha dari 3 juta ha yang direncanakan) dengan tingkat keberhasilan tumbuh 0-60 persen, dengan kata lain program itu sangat kurang berhasil. Banyak faktor yang mempengaruhi kekurangberhasilan (kegagalan) program tersebut, seperti masa menanam yang kurang tepat, jenis benih yang kurang sesuai, ketiadaan pemeliharaan, ketidak sungguhan menanam serta sistem pembiayaan. Bahkan pada masa lalu, kegiatan itu lebih bersifat seremonial daripada tindakan nyata. Penyebab yang sama masih sangat berpeluang terjadi pada masa kini. 

Faktor alam memang sangat dominan menentukan kekritisan lahan kawasan Danau Toba. Lebih 95 persen tanah pada kawasan ini merupakan tanah yang peka sampai dengan sangat peka terhadap erosi. Topografi yang dominan juga merupakan perbukitan dan pegunungan. Kom binasi kedua faktor ini ditambah dengan minimnya vegetasi penutup lahan menjadikan lapisan tanah umumnya sangat tipis sehingga meningkatkan kekritisan lahan, memperkecil keberhasilan penanaman pohon dan melestarikan status kritis kawasan ini. 

Kekurangan masa lalu mungkin hal yang ingin diperbaiki oleh para prajurit ini. Mereka yang ditempa untuk menghadapi medan yang sulit, akan dapat menaklukkan lereng-lereng curam dan terjal, mereka yang dikenal "lebih disiplin", akan menanam dan memelihara dengan sungguh-sungguh, mereka yang dipersiapkan untuk bertempur sungguhan, mungkin akan terlepas dari sesuatu yang seremonial belaka. Tetapi bagaimana dengan sifat alami alam yang berbatu-batu, lapisan tanah tipis dan kering serta kebiasaan masyarakat yang masih suka membakar lahan? Dapatkah itu dihadapi dengan ketangguhan pasukan bersenjata?

Belajar dari Alam

Bagi kita yang biasa mengunjungi kawasan Danau Toba, seperti daerah Tele, Muara, Bakkara atau daerah lain yang memiliki kemiringan curam hingga terjal dan berbatu-batu, mudah menemukan pinus atau tumbuhan lain tumbuh dicelah batuan atau di daerah berbatu-batu. Akarnya yang mungil perlahan memecah batu, mengeratkan ikatan batuan yang satu dengan lainya. Seiring dengan perjalanan waktu akarnya semakin membesar dan memanjang, mengikat erat batuan dan tanah disekitarnya. Pohonnya tumbuh dengan subur, kuat menghadapi terpaan angin dan kegersangan tanah. Alam dengan segala kebijaksanaan yang terkandung didalamnya telah memilih tumbuhan dan tempat tumbuhnya sendiri, dan dia berhasil.

Kita dengan rasionalitas kita, tidak akan pernah memilih celah batu sebagai tempat menanam pohon. Kita akan memilih tanah yang subur, yang bebas dari rapatnya batuan, memilih bibit yang baik, memberi pupuk dan terkadang melindungi dengan pagar, berharap kita lebih sukses dari alam dan kenyataannya kita sering salah. 

Sesungguhnya alam tidak terlalu membutuhkan pertolongan kita untuk memulihkan dirinya, tidak memerlukan gerakan menanam sejuta pohon. Yang diperlukan alam adalah sikap undur kita, sikap dimana kita membiarkan alam berkreasi sendiri. Tinggalkan kawasan hutan yang sudah terlanjur dirambah, terlanjur dijadikan areal pertanian atau pemukiman, jangan usik lahan kritis, maka alam akan memilih sendiri pohon yang paling tepat untuk tumbuh di atasnya, memeliharanya hingga pulih seperti semula. Suksesi ekosistem yang terjadi pada anak gunung Krakatau menjadi bukti tak terbantahkan dari kemampuan alam merestorasi dirinya. 

Sehubungan dengan itu, upaya rehabilitasi lahan kritis di kawasan Danau Toba lebih tepat diserahkan kepada kebijakan alam. Terdapat tiga hal yang perlu kita lakukan untuk mendukung upaya alam ini. 

Pertama, pendidikan masyarakat. Hal ini sangat mendasar, karena "musuh utama" alam adalah kebodohan dan kerakusan kita. Kita dan saudara-saudara kita yang berada di kawasan itu perlu di didik agar menyadari, bukan sekedar mengetahui pentingnya keberadaan hutan untuk kelangsungan hidup, pentingnya menghargai ekosistem. Kesadaran ini sangat menolong keberhasilan upaya kedua, yakni menetapkan "daerah-daerah terlarang", semacam kawasan militer yang umumnya "menakutkan" untuk dimasuki. Lahan-lahan kritis dengan luasan tertentu, misalnya 10.000 ha diproteksi dengan pagar kawat berduri, disertai penjelasan maksud proteksi tersebut. Jika hal ini dilakukan, tiga tahun kedepan, "daerah-daerah terlarang" itu akan menghijau ditutupi pepohonan yang dipilih, ditanam dan dipelihara oleh alam. Kehadiran tentara secara berkala pada daerah-daerah terlarang itu akan menguatkan kesan "keterlarangan" dan meningkatkan keberhasilan upaya alam tersebut. 

Upaya ke tiga adalah melarang perburuan satwa/unggas. Burung-burung dan satwa lainnya sangat berperan dalam menyebarkan bibit pepohonan. Dalam satu hari para mahluk ini mampu menebar benih jauh lebih banyak dari target Toba Go Green dalam satu tahun, mampu menjangkau daerah yang lebih luas dan lebih sulit. Sesungguhnya Sang Pencipta telah menyediakan penanam yang jauh lebih efektif daripada manusia. Oleh karena itu perburuan harus dilarang, pemerintah daerah perlu melarang penggunaan senapan angin guna melindungi satwa-satwa ini. 

Alam sudah memberi bukti, bahwa dia lebih berhasil daripada kita. Sepatutnyalah kita lebih menghormati proses itu dari pada sibuk memikirkan berbagai gerakan lain, hanya untuk memperoleh hasil yang tidak sepadan. Orang bilang, tidaklah perlu mengajari ayam cara bertelur. ***

Oleh: Laksana Umada Sitanggang (penggiat lingkungan, bekerja di Badan Lingkungan Hidup Provsu)


Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger