Wednesday, May 6, 2015

Siantar Keadaan Kritis



MOGOK KERJA- Paramedis masih tetap melakukan aksi mogok kerja. Mereka berkumpul di kantin Forensik RSUD. (Dhev Bakkara)

METROSIANTAR.com, SIANTAR – Berbagai persoalan kini sedang ‘meng-hantam’ Siantar. Tengah terjadi gejolak sosial dari sejumlah kalangan yang merupakan puncak kekecewaan terhadap kinerja pemerintahan. Atas kondisi ini, pemerhati anggaran dan kebijakan pemerintah menilai Siantar dalam masa kritis.

“Terjadi unjukrasa paramedis RSUD Djasamen Saragih, aksi penolakan anggota DPRD atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota terhadap APBD 2014 dan LKPj Ahir Masa Jabatan (AMJ). Ini merupakan indikasi kegagalan Pemko dalam bekerja,” ujar pemerhati anggaran dan kebijakan pemerintah Oktavianus Rumahorbo, Selasa (5/51).


Dia memaparkan, ada sejumlah persoalan genting datang secara serentak, seperti aksi unjuk rasa paramedis yang hak-hak mereka tak dibayarkan. Persoalan pembangunan Pasar Melanthon yang hingga kini tak kunjung dibangun, juga menimbulkan tanda tanya bagi para calon pembeli yang telah menyetor uang muka tapi tak tahu kapan dibangun. Lalu persoalan tata ruang yang semerawut hingga aksi walk out beberapa anggota DPRD.

Menanggapi persoalan di RSUD, Oktavianus mengatakan persoalan itu sebenarnya sepele dan tidak terlalu rumit. Dalam kasus itu, yang dituntut adalah kebijakan dari seorang kepala daerah. “Apakah kepala daerah peduli pada hak-hak mereka? Apakah peduli dengan instansi bawahannya?” jelasnya.

Terkait pembangunan Pasar Melanthon yang juga menuai berbagai protes dari masyarakat, juga merupakan persoalan yang kini sangat akut, yang diperparah dengan belum dibangunnya pasar tersebut yang menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat.

“Persoalan ini sangat kompleks. Banyak karyawan yang direkrut tetapi tak jelas apa kerjanya. Lalu, banyak yang sudah membayar, tetapi pembangunan tidak kunjung dimulai. Itu akan menjadi masalah besar,” jelasnya

Masih kata Oktavianus, ucapan walikota juga beberapa kali melukai hati masyarakat. “Banyak yang gerah dengan ucapannya, baik masyarakat, wartawan, LSM bahkan DPRD,” ungkapnya.
Berbicara masalah penggunaan anggaran, Oktavianus mengatakan bahwa silpa APBD 2014 yang mencapai Rp80 miliar bukanlah bagian dari penghematan.

“Jika DPRD Siantar jeli dengan LKPj APBD 2014 dan LKPj AMJ, maka sebenarnya banyak ditemukan program-program yang tidak terlaksana. Ini persoalan manajemen,” tambahnya.

“Persoalan tak akan selesai dengan duduk, ngopi dan menyanyi. Tidak ada kebijakan politik anggaran popular yang dilahirkan. SKPD terkesan lepas kendali, karena pimpinan tak bisa mengayomi. Ini tentu perlu menjadi refleksi di tahun politik 2015 ini,” jelasnya lagi.

Terpisah, Kristian Silitonga dari Studi Otonomi Politik (SOPo) mengatakan, apa yang terjadi sekarang ini adalah akumulasi dari berbagai persoalan atau hilir dari ketidakmampuan pemimpin menyelesaikan persoalan secara baik. Sehingga, masalah-masalah seperti kekacauan tata ruang, birokrasi, infratrukstur, menjadi muncul.

Selain itu, juga karena kurangnya imajinasi, kapasitas pemimpin, penguatan sistem pemerintahan dan pelembagaan kebijakan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sergta regulasi yang tidak tertata dengan baik.

“Dan, dengan tidak adanya sistem yang benar-benar bisa mengarahkan dalam menjalankan roda pemerintahan, timbul kesan stagnan perkembangan ekonomi,” ujarnya.

Menurutnya, masalah itu sendiri didasari kurangnya kemampuan pemimpin pemko dan termasuk ketidakmampuan DPRD menampung atau mewakili aspirasi dalam memperjuangkan kebutuhan rakyat.

Justru, DPRD sibuk dengan urusan kelembagaan, yang kemudian tidak bisa mengakomodasi kebutuhan publik. Dan persoalan ini, tentu lahir dari tata kelola birokrasi yang tidak baik.

Misalnya, tidak ada sistem alur pengkaderan PNS, yang penempatannya tidak sesuai kemampuan. Yang muncul hanya soal selera terhadap penempatan jabatan, yang tidak dilandasi tolak ukur atau standar ktriteria okjektif untuk menetukan penempatan pejabat.

Selanjutnya, pria yang khas dengan rambut putihnya in mengatakan, lambatnya birokrasi, rendahnya sumber daya manusia dan kemampuan APBD yang minim, bukan persoalan yang baru dalam realitas otonom saat ini. Karenanya, daripada menangisi kondisi tersebut, justru sangat relevan dibutuhkan imajinasi, kreativitas dan visi yang baik dan kuat dari seorang pemimpin, yang melahirkan suatu perbedaan.

Sebagai contoh, ada beberapa daerah yang menurut saya sudah mampu keluar dari jebakan-jebakan masalah keterpurukan daerah. “Kita lihat kepemimnpinan Jokowi di Solo, Ganjar atau Riduan Kamil di Bandung dan lainnya,” ujarnya.

Dia menyampaikan, gejala atas semerawutnya Pemda tidak tergantung pada APBD. Sebab, pada dasarnya APBD hanya sebagai penunjang dan bukan barometer. Menurut Kristian, benar APBD dibutuhkan, tetapi itu bukan segala-galanya. Dengan adanya kreativitas pemimpin, tidak hanya bertumpu pada APBD.

“Ada beberapa daerah yang tidak tertunduk lesu atau terjebak dengan keterbatasan APBD. Tetapi mampu keluar dari keterbatasan yang ada. Intinya adalah kreativitas pemimpin yang diperlukan. Dan, itu yang hilang,” tegasnya.

Kristian mengatakan, salah satu acuan pemimpin yang baik harus bisa menjadi acuan dan teladan bagi warganya. Pemimpin yang baik adalah, pemimpin yang mampu mengenal persoalan warga, kemudian memahami keluhan warga. Dan, pada saat yang sama mempunyai kemampuan memberikan solusi untuk keluar dari persoalan itu.

“Bisa kita bayangkan bagaimana sebuah daerah bisa maju jika pemimpinnya sendiri cenderung cengeng dan menyerah pada persoalan yang ada. Menurut saya, itu bagian kurangnya kapasitas pemimpin yang tidak mampu membangun,” ucapnya.

“Semerawut itu muncul dari pemimpin. Tugas pemimpin itu bisa sederhana, yaitu bagaimana menegaskan dan meyakinkan warganya untuk mengambil keputusan. Substansinya lebih kepada cara keberpihakan pemimpin terhadap kebutuhan warga dari sistem yang ada. Kita harus percaya bahwa masyarakat punya kekuatanya sendiri dalam mengubah dirinya,” imbuhnya lagi.

Kristian menyebutkan, soal keterbatasan APBD tidak menjadi alasan untuk tidak membawa Kota Siantar ke arah lebih maju. Landasannya terlihat dari fakta bahwa pada laporan pertanggungjawaban yang ironis, jumlah silpa tinggi.

Menurutnya, telah terjadi kontradiksi. Di satu sisi walikota mengatakan minim anggaran dan kemudian pada penerapan anggaran tidak produktif.

Jadi dimungkinkan, akar masalah bukan soal minim atau besarnya ABPD, tetapi lebih kepada soal kemampuan memanajemen anggaran. Implementasinya adalah pelaksanaan program-program . Artinya, bagaimana anggaran tadi tepat sasaran, terukur dan ankutabel. Intinya, bukan soal kuantitas, tapi kualitas.

“ Ini, sudah anggaran minim, implementasi penggunaan juga minim. Jika kita menempatkan anggaran tadi secara terukur, ankutabel dan tepat sasaran, akan menghasilkan program pembangunan yang sitnifikan,” ucapnya.

Menurut Kristian, Siantar memiliki aneka potensi untuk menjadi kota yang maju. Hal itu bisa dilihat dari SDM, SDA, geografis dan iklim yang sejuk. Siantar persimpangan kultural dari beberapa daerah. Bahkan, Siantar bisa menjadi segitiga emas atau barometer pembangunan di Sumut kalau pemimpin di dearah ini mampu memanfaatkan dan mengelola SDA secara tepat.

“Semua sudah tersedia. Jika Siantar tidak berkembang, sejatinya kita sedang menghianati potensi yang dimiliki kota ini. Itu artinya, kita haus di titik sumber air. Kita kelaparan di tengah kekayaan yang ada dan itu kesalahan jika tidak bisa berkembang dari kota-kota yang lain, khususnya Sumut,” paparnya.

Dia menambahkan, APBD hanya salah satu varian dalam membangun, karena masih banyak varian, potensi lain yang sebenarnya lebih dari cukup untuk mengembangkan Kota Siantar. “Jadi, jangan mengunci pembangunan Siantar itu hanya berdasarkan APBD itu sendiri.

Persoalan lain, sejauh ini Pemko belum bisa mengukur kemampuan yang ada. Apakah itu bisa menjadi kota industri, jasa dan perdagangan. Saya tidak bilang kota ini harus kota jasa, tetapi mari dipikirkan dan dirumuskan kota ini mau diarahkan ke mana. Itu yang tidak pernah clear,” katanya.



Pasien Masih Ditelantarkan
Aksi unjuk rasa dan mogok kerja paramedis RSUD Djasamen Saragih mengakibatkan ratusan pasien yang hendak berobat terlantar.

Binton Silalahi (64), warga Partuakan, Tiga Ras, salah seorang pasien penderita sakit mata mengaku sejak pukul 07.00 WIB sudah menunggu dokter, namun dia tak juga mendapatkan pelayanan.

“Saat datang, ngga ada dokter. Kemarin mereka demo. Sekarang juga tidak satupun dokter yang nampak. Ada pula pengumuman dokter tidak masuk? Kayak mana ini?” ujarnya diamini pasien lainnya. Secara bersamaan warga menggerutu dan mondar mandir dari tempat duduk ke ruang poliklinik.

Hal yang sama dialami boru Sinambela (65), warga Muara, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput). Wanita tua yang menderita penyakit saraf tersebut terpaksa menginap dua hari di Siantar. “Saya terpaksa menginap karena kemarin (Senin) dokter-dokter demo. Mau nggak mau terpaksa menginap karena jauh kalau mau pulang. Tapi sekarang sama saja, tidak dapat berobat,” kesalnya.

Para pasien sangat menyanyangkan karena pihak rumah sakit membuka loket pendaftaran, tetapi dokter tidak ada yang masuk kerja. “Kita kesal. Kalau sudah tahu gini (dokter tidak datang), kenapa dibuka pendaftaran. Lebih baik mulai dari awal ditutup sehingga kita (pasien) tidak menunggu lama. Sejak pagi kita di sini, tapi dua jam tidak ada pelayanan,” kesal warga lainnya, Lasma Ida boru Siahaan, warga Kelurahan Suka Dame, Siantar Utara.

Sejumlah pasien pun secara bergantian melontarkan kalimat bernada emosi. Dan, melihat kegelisahan pasien, Direktur RSUD dr Ria Telaumbanua datang menemui pasien dan meminta bersabar sekaligus meminta maaf atas kejadian tersebut.

“Maaf ya. Bapak Ibu tolong bersabar, dokternya pasti datang. Mereka sudah kita hubungi dan sebagian sudah di jalan. Bapak ibu pasti di mendapat pelayanan,” katanya menenangkan sembari memerintahkan kepada anak buahnya untuk memberikan surat rujukan kepada pasien yang terdaftar sebagai peserta BPJS.

Terkait ketidakhadiran para dokter, dr Ria menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan surat. Namun soal sanksi yang akan berlaku, ia mengatakan akan membicarkan hal itu terlebih dahulu kepada walikota. “ Kita tahu kemarin ada aksi unjuk rasa. Tetapi kita tetap imbau agar semuanya tetap dibuka. Tetapi oleh seseorang rekan medis, saya tidak tahu siapa orangnya, membuat ini tidak dibuka. Sekarang sudah dibuka, supaya orang bisa masuk,” terangnya.

Namun, kepada wartawan, dr Ria mengaku bahwa sejumlah dokter masih hadir, seperti dokter mata dan dokter jantung. “Dokter Namso juga masuk, tadi sudah ada,” ujarnya.

Ditanya tindakan yang akan dilakukan kepada para dokter yang tidak hadir, dr Ria tidak mengatakan bahwa seperti apa mekanismenya, nanti akan dibicarakan. Pokoknya saya sudah sampaikan kepada pak wali. Dan, nanti ada juga kadis kesehatan datang untuk membicarakannya. Kalau sanksi, kan ada dalam aturan PNS. Saya melihat itu. Jadi, saya buatkan dulu teguran tertulis, “ terangnya tanpa menjelaskan berapa jumlah dokter yang akan disanksi.

Amatan METRO di sejumlah tembok rumah sakit, tertempel kertas pengumuman bertuliskan ‘Kepada masyarakat umum (pasien) yang berkunjung ke RSUD Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar, kami menyatakan bahwa pelayanan medis di RSUD untuk sementara waktu tidak dapat kami lakukan (kami tutup).

Hal ini kami lakukan sampai hak-hak kami sebagai pegawai (berbagai bentuk jasa medik) dibayarkan, serta samapai Direktur RSUD mundur dari jabatannya’. Pengumuman itu mengatasnamakan Forum Solidaritas Pegawai RSUD Djasamen Saragih.

Pembayaran Remunerasi Masih Kabur
Menyikapi aksi unjuk rasa ratusan paramedis yang menuntut pembayaran remunerasi 2013, 2014 dan 2015, Dinas Kesehatan, Asisten I dan Direksi RSUD Djasamen Saragih menggelar rapat tertutup.

Asisten I Pemko Siantar Leo Simanjuntak SH mengatakan, pihaknya sudah melakukan rapat tertutup untuk membicarakan pembayaran remunerasi tenga medis RSU Djasamen Saragih. “Inti pertemuan tersebut bahwa pembayaran remunerasi 2013 tidak ada masalah dan akan segera dibayarkan. Sementara untuk 2014 dan 2015, karena status rumah sakit sudah BLUD, maka harus menunggu penetapan perwa (peraturan walikota). Kondisinya sudah mendekati final,” jelasnya.

Ditanya kapan waktunya pembayaran remunerasi, Leo Simanjuntak tidak menyatakan secara rinci. “Intinya, secepatnya dan tidak ada masalah lagi. Kalau masalah tanggalnya belum diputuskan,” jelasnya.

Sementara, terkait dasar hukum pencairan remunerasi 2014 dan 2015, Leo mengatakan bahwa walikota sudah mempersiapkan perwa. “Perwa sudah dipersiapkan, tinggal menunggu penyusunan petunjuk teknis,” jelasnya singkat. Sebelumnya, Direktur RSUD Djasamen Saragih dr Ria Telambanua mengatakan, untuk mengeluarkan jasa medis dan jasa umum membutuhkan petunjuk teknis dan memakan waktu lama karena harus memanggil satu per satu yang terkait dengan pelayanan rumah sakit.

“Prosesnya dibuat dari Kementerian dan harus dipelajari secara detail. Ini pondasi karena bukan untuk sekali ini saja. “Sesuai Permendagri, maka saya buatkan tim yang diketuai dr Dahlan Sianturi. Sudah berbulan-bulan mereka melakukan itu. Saya juga sudah mengajak para dokter agar mau membantu. Ada 600 orang yang harus diurus,” jelasnya.

SIRS RSU Djasamen Tidak Berfungsi
Selain menuntut pembayaran jasa medik dan jasa umum, ratusan paramedis yang menggelar unjuk rasa juga menyesalkan tidak difungsikan Sarana Informasi Rumah Sakit (SIRS). “Bagaimana bisa pihak manajemen rumah sakit mendapatkan data yang baik untuk pembayaran remunerasi (jasa medis) jika SIRS juga tidak berfungsi. Dana untuk pengadaan SIRS mencapai miliaran rupiah,” jelas dr Reinhard Hutahaean, Senin (4/5).

Lanjutnya, sangat disesalkan jika pihak manajemen juga baru meminta data rekam medik kepada pihak BPJS. Ditetapkannya status rumah sakit sebagai BLUD juga harus mempunyai SIRS. “Jika manajemen bekerja, sebenarnya banyak investor yang bersedia menyediakan layanan itu. Kan sangat memalukan setelah beraudiensi dengan walikota baru diminta data dari BPJS dan itu hanya data pasien. Jadi selama ini yang dikerjakan apa,” jelasnya dengan kesal.

Direktur RSU Djasamen Saragih mengatakan, pengelolaan SIRS adalah satu sistem yang dibuat untuk mengakomodir semua data-data di rumah sakit agar berbentuk online.

“Jadi SIRS itu bukan hanya persoalan computer, tetapi juga software. Software ini juga harus dipikirkan tenaga ahli. Itu harus dicocokkan dengan kondisi rumah sakit,” jelasnya. Masih kata dr Ria, ketika dirinya sempat dipecat sebagai direktur, persoalan SIRS sempat terganggu.

Jika masalah data jumlah pasien maka dapat diperoleh dari data BPJS. “Ini sudah lama saya pikirkan dan hal ini akan kita perbaiki ke depan. Sudah dalam otak saya semua itu,” jelasnya. (rah/mag-04/ara)
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger