Tuesday, September 16, 2014

Jokowi dan Tapanuli

Presiden terpilih Jokowi, populer sekali di Tapanuli. Setidaknya di Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir serta Toba Samosir. Waktu pemilu presiden tempo hari misalnya, pasangan Jokowi - JK mendapatkan suara lebih 90 persen dari jumlah pemilih di empat daerah otonomi itu, jauh melampaui perolehan suara yang didapatkan pasangan Prabowo - Hatta. Khususnya di Kabupaten Samosir yang disebut-sebut sebagai asal leluhur Orang Batak, pasangan Jokowi - JK malah meraup 94, 46 persen. Di kampungnya sendiri, Solo, Jokowi - JK tidak mendapatkan suara sebanyak itu.

Kalau dicermati lebih jauh lagi, tak terlalu keliru jika disebut Jokowi memang sangat populer bahkan fenomenal di tengah-tengah orang Batak, termasuk bagi Orang Nias. Pada pemilu lalu, pasangan Jokowi menang mutlak di daerah-daerah yang warganya didominasi oleh Orang-orang Batak. Di Dairi, Jokowi - JK meraih suara 83, 22 persen. Di Karo 84, 95 persen, di Kota Pematangsiantar 78, 87 persen, di Simalungun 65, 69 persen, di Tapanuli Tengah 71, 92 persen. Sedang di Kabupaten Nias 89, 25 persen, Nias Selatan 86, 80 persen, Nias Utara 86, 15 persen, Nias Barat 83, 96 persen, serta Kota Gunung Sitoli 83, 50 persen.
Tak jelas sekali mengapa Jokowi begitu populer di tengah-tengah Orang Tapanuli (Batak) Boleh jadi karena dalam kampanye pilpres lalu, Jokowi dikelilingi dan dekat dengan beberapa Orang Batak. Sebut misal Luhut Panjaitan, Maruarar Sirait, Adian Napitupulu, Trimedya Panjaitan, TB Silalahi, Panda Nababan, Sotarduga Sitorus, Syukur Nababan, termasuk Effendi Simbolon. Orang Batak dimana saja bisa melihat dan menyaksikan hal itu melalui layar kaca di rumah mereka masing-masing. Termasuk beberapa tokoh serta pemuka Orang Batak di daerah seperti Pdt Nelson Siregar, juga diketahui dekat dan menjadi ujung tombak pasangan Jokowi - JK.

Dukungan terhadap Jokowi dalam masa kampanye lalu terlihat jelas pada berbagai fenomena. Di media sosial, juga di onan-onan di segenap pelosok Tanah Batak. Jelang pilpres lalu, Ibu-ibu di Humbang Hasundutan ramai-ramai menyisihkan uang untuk keperluan pasangan Jokowi - JK. Abang-abang beca di Balige juga, termasuk supir-supir angkutan umum di nyaris semua kawasan Tapanuli. Dan yang paling paling seru, saat pesta-pesta adat pun jelang pilpres lalu orang-orang 'manortor' sambil mengacugkan dua jari.

Bagi Prof Dr Hotman Siahaan seorang sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Jokowi melekat di hati Orang Batak dikarenakan sosoknya yang nasionalis dan menghargai pluralisme. Orang Batak menganggap Jokowi sebagai simbol pembela kaum marginal dan minoritas. Dan hal ini sudah diketahui Orang Batak sejak Jokowi memimpin dan memerintah di Solo mau pun di Jakarta.

"Sikap kepemimpinan yang dimiliki Jokowi itulah yang mendorong Orang Batak mendukung sekaligus memilih Jokowi - JK, dengan harapan persoalan bangsa yang rentan terhadap disintegrasi sanggup diatasi dengan bijak", kata Hotman dan menambahkan "Sosok Jokowi memang tipe seorang pemimpin yang diharapkan masyarakat Batak. Kemampuannya memecahkan masalah dan memberikan solusi terbaik dapat diandalkan. Sejauh ini, pemimpin pada era reformasi masih kurang peduli terhadap perlindungan minoritas", katanya.

Kesederhanaan Jokowi dan kedekatannya dengan rakyat disamping sosoknya yang nasionalis pluralis menjadikan juga pilihan Orang Batak jatuh kepada Jokowi, kata R Capalino Simanjuntak, seorang relawan Jokowi - JK yang terjun langsung pada kampanye pilpres tempo hari. Salah satu alasan kenapa Orang Batak mendukung Jokowi adalah sifatnya yang sederhana tapi tegas dalam bertidak. Kedekatannya dengan rakyat bukan pencitraan.

"Itu murni seperti yang ia perlihatkan selama memimpin di Solo dan Jakarta. Kalau pun itu pencitraan, hasilnya seperti yang diinginkan", kata Simanjuntak.

Ada Ubi Ada Talas

Sejak awal terbentukya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sudah terbilang Orang Batak yang duduk di Kabinet Republik Indonesia. Ada dulu almarhum Mananti Sitompul yang menjadi Menteri PU, AM Tambunan yang pernah menjadi Menteri Sosial, almarhum Adam Malik yang lama sekali menjadi Menteri Luar Negeri, sampai di era almarhum Jenderal Maraden Panggabean yang pernah menjadi Menteri/ Panglima Angkatan Bersenjata. Lantas ada pula Cosmas Batubara, Akbar Tanjung, Faisal Tanjung, sampai pada Bungaran Saragih yang di era Megawati dipercaya sebagai Menteri Pertanian, Luhut Panjaitan sampai pada Sudi Silalahi yang cemerlang di masa SBY.

Tapi begitu pun, Tapanuli ya begitu-begitu sajanya. Anak negerinya masih saja terbilang tertinggal, miskin dan papa. Orang-orang Batak yang memimpin departemen atau kementerian itu tidak pernah membagi atau memberi perhatian secara khusus ke tanah asal leluhurnya. Nyaris semua mereka memusatkan pikiran kepada bangsa dan negara ini. Mereka, sungguh, adalah putra-putra Batak yang sudah berjiwa dan berwawasan nasional. Sementara, Tapanuli bagi mereka hanya sebuah bagian dari Negara Republik Indonesia semata.

Sampai sekarang kalau kita jujur dan obyektif, kawasan Tapanuli masih miskin dan papa, miskin ilmu apalagi harta. Dan keadaan ini semakin diperparah dengan berlomba-lombanya putra-putri Tapanuli yang melakukan migran ke kota-kota besar di luar Tapanuli. Mereka menganggap kawasan Tapanuli tidak menjanjikan apa-apa, bahkan tidak memberi harapan yang cerlang cemerlang. Apa boleh buat, akibatnya kawasan Tapanuli yang miskin tadi pun semakin miskin pula. Miskin Sumber Daya Manusia. Paling-paling warga Tapanuli di tanah asalnya cuma anak-anak dan orang-orang tua saja yang tidak produktif.

Sebenarnya, selama ini Pemerintah Pusat sejak dulu sudah berupaya melakukan berbagai upaya untuk membangun Tapanuli. Selain mengucurkan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, juga dalam bentuk-bentuk lain yang sifatnya adhock. Bahkan di masa Orde Baru dulu, Pemerintah Pusat pernah melakukan terobosan untuk memberdayakan kawasan Tapanuli. Hal itu dilakukan dengan mengucurkan dana yang cukup besar di bawah bendera Operasi Khusus Maduma yang dipimpin oleh almarhum Solichin GP dan Humuntar Lumbangaol. Termasuk, mengucurkan dana dengan istilah IDT (Inpres Desa Tertinggal)

Banyak faktor penyebab kemiskinan serta ketertinggalan kawasan Tapanuli yang selama ini terjadi. Antara lain, sikap dan tindakan para pemimpin di daerah itu yang korup dan kurang memperhatikan anak negeri yang mereka pimpin. Apalagi sejak era pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diikuti oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah. Secara umum, para kepala daerah di kawasan Tapanuli bahkan menjelma sebagai raja-raja kecil dan drakula penghisap darah. Umumnya, mereka memakmurkan diri dari rakyat bukan malah memakmurkan rakyat yang mereka pimpin.

Maka sebenarnya, kemenangan Jokowi secara khusus yang mutlak di kawasan Tapanuli harus dibalas Jokowi dengan cara ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Membalas kemenangan Jokowi secara khusus di Tapanuli sepertinya tak harus dengan memakai Orang-orang Batak sebagai Menteri untuk memimpin beberapa kementerian. Tokh kalau pun menjadi Menteri, mereka tentu saja akan memusatkan perhatian kepada Republik Indonesia secara keseluruhan. Melihat Indonesia secara utuh.

Melakukan penegakan hukum secara pasti dan berani adalah suatu bentuk balasan yag diharapkan anak negeri Tapanuli terhadap Jokowi. Dengan menyeret semua yang terlibat kejahatan korupsi sampai ke meja hijau, sudah merupakan sesuatu yang sangat berarti untuk memerangi kemiskinan di Tapanuli. Baik terhadap mereka yang sekarang tengah berkuasa, termasuk mereka yang sekarang tidak lagi berkuasa. Ini semua untuk menciptakan efek jera, sebab kemiskinan Tapanuli sesungguhnya adalah dikarenakan suburnya lahan korupsi di daerah ini (*)

Oleh : Ramlo R. Hutabarat
Tarutung, 15 September 2014,
HP : 0813 6170 6993
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger