Tuesday, May 29, 2012

Menjadi Bangsa Yang Berani dan Bertanggung Jawab

DINAMIKA KEHIDUPAN ORANG BATAK

Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut.
Kebudayaan Masih Dipahami Secara Ontologis.
Istilah ini mengandung pengertian bahwa kebudayaan dan perkembangannya dilihat sebagai sesuatu yang berjalan sendiri sesuai dengan hakekatnya, sebagai sesuatu yang bukan dibuat oleh manusia dan sudah hadir begitu saja sebagai rujukan dan pegangan yang harus diikuti oleh pendukung suatu kebudayaan. Perkembangan orang-orang yang menjadi partisipan kebudayaan itu, tergantung dari situasi kebudayaan tempat mereka diperanggotakan. Dengan perkataan yang ringkas: manusia dianggap dibentuk oleh kebudayaannya. Apa yang membuat sekelompok orang menjadi Batak adalah kebudayaan Batak, seperti juga orang menjadi Jawa karena kebudayaan Jawa.
Hal yang diabaikan dalam konsep kebudayaan yang ontologis ialah kenyataan sebaliknya, bahwa kebudayaan juga dibentuk oleh (dan bukan saja membentuk) para pendukungnya, dan sama sekali tidak merupakan sesuatu yang dari kodratnya sudah demikian. Contoh yang paling jelas ialah bahasa. Alam pikiran kita memang dibentuk oleh bahasa menurut strukturnya, kaidah-kaidahnya, dan berbagai bentuk hubungan dan pertentangan yang dimungkinkan dalam bahasa itu. Akan tetapi kita menyaksikan sekarang ini bahwa bahasa (Batak) dibentuk dengan sangat aktif oleh pengguna bahasa itu, atas cara yang menyebabkan bahasa itu berubah dengan sangat cepat, dan mempunyai berbagai varian dalam perkembangannya. Contohnya dari beberapa etnis Batak, terjadi perubahan berdasarkan komunitasnya, bahasa Batak Toba, Batak Karo,Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola.
Kebudayaan memang membentuk para pendukungnya dengan nilai-nilai, kepercayaan dan norma-norma dalam kebudayaan itu, tetapi, sebaliknya, kebudayaan juga dibentuk secara aktif oleh para pendukungnya. Dengan demikian kebudayaan Batak bukan sudah dari awal mulanya sudah demikian, tetapi diberi bentuk dan isinya oleh orang Batak. Ini artinya, kebudayaan Batak merupakan hasil karya ciptaan para pendukung kebudayaan Batak. Setiap pendukung suatu kebudayaan tidak hanya menjadi partisipan tetapi sekaligus juga agen dan bahkan pencipta kebudayaannya sendiri.
Kebudayaan dapat menjadi acuan kehidupan bermasyarakat, ini jelas karena kebudayaan memberikan nilai-nilai yang menjadi referensi orang dalam bertindak dan berperilaku, dan memberi suatu pandangan dunia sebagai dasar orientasi orang dalam menghadapi lingkungan alam dan lingkungan hidupnya. Kita dapat memahami suatu masyarakat dengan mempelajari kebudayaannya, tetapi pengenalan kita terhadap masyarakat itu yang diperoleh melalui pergaulan, observasi atau partisipasi dalam masyarakat itu, dapat membantu kita memahami kebudayaannya dengan lebih baik
Kalau kita menerima kebudayaan secara ontologis, maka kita terjatuh dalam jebakan determinisme yang sama, yaitu percaya bahwa kita tidak bisa berbuat barang sesuatu pun terhadap kebudayaan kita dan hanya menyesuaikan diri dengan kebudayaan tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Sikap-sikap deterministis seperti ini kita hadapi setiap hari di Indonesia, khususnya kalau kita menghadapi kesulitan dan krisis. Kalau kita tidak bisa mengatasi korupsi, kita akan berkata, kebudayaan kita belum memungkinkan transparansi dan akuntabilitas. Kalau kita selalu terlambat, kita mengatakan bahwa kebudayaan kita memang belum mengenal sikap tepat waktu. Kalau kita lalai membayar utang, kita juga akan mengatakan, utang memang hal biasa dalam kebudayaan kita.
Ucapan atau sikap-sikap seperti itu hanya menunjukkan ketergantungan pasif kepada kebudayaan, tetapi mengabaikan sama sekali segi lain dalam kebudayaan, yaitu bahwa kebudayaan seperti itu kita sendiri yang membuatnya, dan bukan sesuatu yang sudah ada dengan sendirinya. Secara teknis, kebudayaan bukanlah ontologi tetapi tidak lebih dari konstruksi sosial.

IDEALISME , POLITIK DENGAN TRADISI HIDUP ORANG BATAK
Teori politik
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik dan sebagainya
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dan sebagainya.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
  • Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara.
  • Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
  • Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya. Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkah laku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi polemik ini. Hal yang tidak indah dimana pemimpin politik memamfaatkan psikologis rakyat banyak dan membangunkan nafsu masyarakat dalam aba- aba untuk memenangkan dukungan mereka.
DEMOKRASI & HUKUM DALAM KEHIDUPAN ORANG BATAK
Dalihan Na Tolu tidak saja baik dalam sistem kekerabatan Batak tetapi juga sangat baik diterapkan dalam sistem leadership moderen. Seorang pemimpin yang dapat menerapkan Dalihan Na Tolu dalam kerangka sistem kepemimpinannya akan menjadi pemimpin yang sangat berhasil dan juga sustainable. Dalam konsep kepemimpinan moderen kita mengenal suatu konsep yang disebut dengan 360 Degree Leadership. Dimana seorang pemimpin yang handal, harus dapat mengelola hubungan yang harmonis dengan atasan (pemilik saham/komisaris), teman sejawat (peers), dan bawahan. Hanya saja, hubungan seperti apa yang seharusnya dikembangkan?
Beberapa kritikan menegaskan bahwa demokrasi adalah pelatihan memimpin untuk menuju oligarchy yang terburuk. Telleyrand mengambarkan demokrasi adalah sebuah aristokrasi orang yang jahat. Hal lazim pada setiap manusia adalah cemburu atas keunggulan orang lain. Oleh karena itu, mereka jarang memilih orang yang mampu untuk memimpin mereka. Mereka sering memilih orang yang rendah kwalitasnya, dimana sering tidak mengindahkan dan secara luar biasa cakap dalam mengatur diri mereka sendiri dengan sentiment yang tinggi. Orang yang jujur dan mampu jarang terpilih didalam demokrasi. Kekuatan demokrasi berada ditangan perusak dan koruptor. Carlyle mengapkirkan bahwa demokrasi pemerintahan tukang bual atau tukang obat.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merubah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.

Hukum & Perundang - Undangan
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Namun dilupakan bahwa impunitas itu dipupuk setiap hari dalam kehidupan kita. Orang merokok di tempat yang dilarang merokok, tanpa ditegur oleh petugas. Pelanggaran-pelanggaran kecil itu memupuk impunitas dari hari ke hari, dan kita baru terkejut kalau muncul impunitas besar, yang dianggap merupakan kejahatan yang seakan-akan muncul secara mendadak, sementara kita turut membentuknya setiap hari dengan sikap-sikap budaya kita yang deterministis.
Suatu ilustrasi untuk masalah ini dapat kita lihat dalam soal penegakan hukum atau law enforcement. Di mana pun di dunia ini penegakan hukum akan berjalan efektif kalau disertai dengan sanksi atau hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan. Penerapan sanksi ini patut dilakukan sejak dari pelanggaran yang paling kecil sampai pelanggaran besar yang mengisi halaman-halaman surat kabar. Kita tahu bahwa sanksi (dan pujian) adalah suatu sarana yang amat diperlukan dalam pendidikan anak-anak. Akan tetapi sanksi juga memainkan peranan sangat penting dalam kehidupan publik dan kehidupan politik. Apa yang dinamakan Gunnar Myrdal sebagai soft state tak lain dari keadaan di mana negara menjadi terlalu lembut untuk menerapkan sanksi terhadap pelanggaran peraturan, yang mengakibatkan bahwa impunitas diterima sebagai hal yang wajar dan penegakan hukum hanya menjadi slogan tanpa efek.
Suatu pembaruan yang dibawa oleh negara hukum ialah bahwa segala pengawasan yang bersifat informal melalui kontrol kebudayaan (seperti iri hati, gosip, atau kebiasaan ngerasanin orang, atau menjauhi seseorang yang tidak disukai dalam pergaulan) diganti oleh pengawasan formal melalui kontrol oleh hukum dengan memberikan sanksi resmi yang diatur dalam peraturan. Jadi orang-orang yang memperlihatkan kehidupan serba mewah secara conspicuous tidak diawasi melalui omongan bisik-bisik yang menjelekkan nama baiknya, tetapi melalui pemeriksaan pajak pendapatan orang bersangkutan.
Demikian pun kalau dalam kehidupan politik dikatakan bahwa kebudayaan kita belum memungkinkan demokrasi berkembang secara optimal. Argumen-argumen seperti ini bertolak dari asumsi bahwa kebudayaan harus diubah, tanpa mempersoalkan siapa yang harus mengubah kebudayaan itu. Sudah jelas bahwa kebudayaan itu bisa dan harus diubah oleh pendukung kebudayaan itu sendiri. Jadi, kalau persyaratan budaya kita belum sesuai dengan tuntutan demokrasi atau tuntutan pembangunan ekonomi, maka persyaratan itu harus diciptakan dalam kebudayaan kita, karena kalau kita tidak menciptakan sendiri persyaratan-persyaratan tersebut, maka untuk selama-lamanya kebudayaan kita tidak pernah siap untuk keperluan moderen yang mana pun.
Keadaan inilah yang maksudkan sebagai implikasi praktis dari konsep kebudayaan yang ontologis sifatnya.
Dengan belajar sejarah orang membentuk sikap terhadap segala kejadian politik dan peristiwa-peristiwa yang muncul dalam kehidupan masyarakat”.
Kalau kita membandingkan Singapura dan Jepang misalnya maka pengajaran bahasa asing mempunyai tujuan dan garis yang jelas. Di Singapura anak-anak dilatih dan dididik dalam bahasa Inggris, agar mereka sanggup masuk ke dalam pasaran dunia dan mendapatkan akses yang mudah ke sumber-sumber informasi internasional. Mereka harus menjadi kosmopolitan dalam kemampuan berbahasa Inggris. Sebaliknya, di Jepang tidak semua peserta didik diharuskan fasih berbicara bahasa Inggris, meski pun mereka dapat membaca teks-teks Inggris dengan baik. Tujuan pengajaran bahasa asing di Jepang adalah mendidik suatu elite penerjemah dari berbagai bahasa asing, agar supaya informasi internasional dapat dibawa ke dalam kebudayaan dan ke dalam bahasa Jepang dengan cepat. Ini artinya di Singapura, anak-anak dididik dalam bahasa Inggris agar sanggup merebut informasi sescara langsung dari sumber-sumber internasional, sedangkan di Jepang elite penerjemah harus merebut informasi itu dan men-Jepang-kan informasi-informasi internasional untuk keperluan masyarakat Jepang. Dalam kaitan itu kita dapat bertanya: apa tujuan nasional kita dalam memberikan pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah di Indonesia?

UKURAN KEBERHASILAN ORANG BATAK
Ukuran Keberhasilan ala BATAK, Di setiap acara adat Batak, hampir semua kerabat yang datang pada acara itu akan menyampaikan harapan dan doa agar pihak keluarga yang punya acara (hasuhuton) berhasil dalam kehidupannya, yang diukur dari keberhasilan dalam aspek materi/welfare dan pengetahuan/knowledge (hamoraon), kedudukan sosial/jabatan/respected (hasangapon), dan keturunan, baik dalam jumlah dan kualitas dan terutama adanya anak laki-laki di dalam keluarga (hagabeon).
“Bidang do diranap dao ditatap di Adat Batak i. Uli idaon angka tujuanna, naeng maraturan na denggan sude ulaon: marsiurupan, marsiajaran, marsipodaan, marsitatapan, marsihilalaan. Naeng maraturan na denggan sude panghataion, pangalaho dohot parange: marsiantusan, marsihormatan, marsipasangapan. Naeng maraturan na denggan sude parsaoran: pardongan saripeon, parnatua-tuaon dohot paraniakhonon, parhaha-maranggion, parsahutaon, parsisolhoton, denggan mar-dongan tubu, marhula-hula, marboru. Sian najolo, diakui roha ni halak Batak do, naso marguru dijolma sude namasa diportibi on. Ala ni i dihilala roha nasida do na tergantung do ngolu nasida sian hagogoon dohot huaso ni angka na so tarida.”
“Ompunta naparjolo martungkot salagunde, adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi”
TRADISI BATAK DENGAN SISTEM PEREKONOMIAN
Apa yang dinamakan “halangan-halangan mental dalam pembangunan” yaitu sikap-sikap budaya yang dianggap tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi, pada dasarnya bertolak dari konsep kebudayaan yang ontologis. Kita tergantung pada kebudayaan, tanpa dapat berbuat sesuatu dengan kebudayaan itu
KESIMPULAN
Demikian pun kalau dalam kehidupan politik dikatakan bahwa kebudayaan kita belum memungkinkan demokrasi berkembang secara optimal. Argumen-argumen seperti ini bertolak dari asumsi bahwa kebudayaan harus diubah, tanpa mempersoalkan siapa yang harus mengubah kebudayaan itu. Sudah jelas bahwa kebudayaan itu bisa dan harus diubah oleh pendukung kebudayaan itu sendiri. Jadi, kalau persyaratan budaya kita belum sesuai dengan tuntutan demokrasi atau tuntutan pembangunan ekonomi, maka persyaratan itu harus diciptakan dalam kebudayaan kita, karena kalau kita tidak menciptakan sendiri persyaratan-persyaratan tersebut, maka untuk selama-lamanya kebudayaan kita tidak pernah siap untuk keperluan moderen yang mana pun.
Dengan belajar sejarah orang membentuk sikap terhadap segala kejadian politik dan peristiwa-peristiwa yang muncul dalam kehidupan masyarakat”.
Kalau kita membandingkan Singapura dan Jepang misalnya maka pengajaran bahasa asing mempunyai tujuan dan garis yang jelas. Di Singapura anak-anak dilatih dan dididik dalam bahasa Inggris, agar mereka sanggup masuk ke dalam pasaran dunia dan mendapatkan akses yang mudah ke sumber-sumber informasi internasional. Mereka harus menjadi kosmopolitan dalam kemampuan berbahasa Inggris. Sebaliknya, di Jepang tidak semua peserta didik diharuskan fasih berbicara bahasa Inggris, meski pun mereka dapat membaca teks-teks Inggris dengan baik. Tujuan pengajaran bahasa asing di Jepang adalah mendidik suatu elite penerjemah dari berbagai bahasa asing, agar supaya informasi internasional dapat dibawa ke dalam kebudayaan dan ke dalam bahasa Jepang dengan cepat. Ini artinya di Singapura, anak-anak dididik dalam bahasa Inggris agar sanggup merebut informasi sescara langsung dari sumber-sumber internasional, sedangkan di Jepang elite penerjemah harus merebut informasi itu dan men-Jepang-kan informasi-informasi internasional untuk keperluan masyarakat Jepang. Dalam kaitan itu kita dapat bertanya: apa tujuan nasional kita dalam memberikan pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah di Indonesia? 
 Ditulis Oleh : Wesly Suta Fernando Simanjuntak (Minggu 06 Juli 2008 http://wesly-simanjuntak.blogspot.com/2008_07_01_archive.html)
Free web Counter Log Counter powered by  http://www.myusersonline.com
stay younger