Ditulis Oleh : Eliap Lumbantoruan |
Pemilukada Provinsi Sumatera Utara tahun depan(2013) sudah
mulai bergelora, berbagai pihak sudah mulai menyatakan diri mampu
menjadi "The Number One" di Provinsi itu. Akan tetapi, seperti proses
pemilukada-pemilukada yang sudah-sudah, kriteria utamanya masih tetap yang
punya uang (The Have). Sayangnya, yang punya uang ini pun tidak mampu mengukur
dirinya mampu atau tidak secara kompetensi. Akibat dari banyaknya para
petualang politik yang berduit ini,
partai politikpun jual-jual mahal seperti "Tukang Ojek". Kriteria dukungan
bukan pada kemampuan yang teruji dan layak untuk membangun daerah yang
akan dipimpin tetapi lebih kepada jumlah "Getep (Kekutan Finansial)" yang bisa didapat dari
calon-calon itu.
Lucu pertandingan pemilukada di Indonesia ini, semestinya partai-partai politik itu yang melakukan recruitmen untuk mencari
calon mereka yang terbaik untuk dimajukan dalam pentas pertandingan tersebut,
yang mereka dukung bukan hanya sebagai "Tumpangan Ojek" tapi
sesungguh-sungguhnya mendukung luar dan dalam atau bahkan sampai
berdarah-darah. Kenyataan yang terjadi, sebaik-baiknya calon pun, harus
bergerilia mulai dari bawah sampai ke atas dengan biaya sendiri untuk
bisa ikut bertanding, sekali lagi hanya untuk ikut bertanding. Tidak
peduli mau mengeluarkan puluhan atau bahkan ratusan millyard asalkan
ikut bertanding, sekalipun secara sadar bahwa kendaraan "Ojek" yang mereka
tumpangi untuk ikut bertanding, hanya sebagai persyaratan administrative saja dan tidak
begitu berpengaruh terhadap proses pemenangan pada saat pertandingan.
Kondisi ini juga menyuburkan petualang-petualan politik yang lain, dengan embel-embel "team sukses" atau yang paling sering disebut dengan "TS". Gilanya team sukses ini pun harus dibiayai dari tingkat desa sampai tingkat provinsi. Semakin banyak TS dan partai yang mendukung mestinya semakin ringan tanggungan yang harus dipikul. Akan tetapi pemeo yang mengatakan "Ringan Sama Dijinjing Berat Sama Dipikul" sepertinya tidak berlaku dalam pemilukada-pemilukada tersebut. Bahkan makin banyak TS dan Partai Pendukung malah seperti memelihara harimau lapar yang hanya butuh daging mentah.
Dalam kondisi yang demikian, mestinya pemilih di Sumut Utara
sudah semakin cerdas memberikan hak pilihnya untuk memilih yang terbaik
untuk memimpin SUMUT dalam pemilukada yang akan datang.
Hubungan-hubungan primordial seperti semarga, sesuku bahkan seagama,
tidak lagi menjadi faktor dalam menentukan pilihan.