Masalah Masyarakat Adat
Berhembusnya angin “reformasi” tidak serta merta diikuti dengan
perubahan kebijakan dan hukum yang berarti dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga
penyelenggara negara ternyata tidak digunakan untuk mengganti total
peraturan per-UU-an peninggalan Orde Baru.
Otonomi daerah dan Masyarakat Adat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi
dengan kekuasaan yang kuat, boleh dikatakan belum melakukan
kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu kebijakan yang signifikan untuk
dicermati oleh Masyarakat Adat adalah otonomi daerah dengan keluarnya UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Otonomi daerah merupakan tantangan paling nyata dan sangat kritis
bagi Masyarakat Adat dalam mewujudkan kedaulatannya atas tanah dan
sumberdaya alam lainnya. Dalam konteks ini maka Otonomi daerah
(sebagaimana diatur dalam UU 22/1999 dan UU 25/1999) baru mengatur
sistem pemerintahan (government system), belum cukup mengatur sistem
pengurusan (governance system), sehingga belum menyentuh pada persoalan
mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru
justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi Masyarakat
Adat.
Belum ada kejelasan dan ketegasan
Dalam UU No. 22/1999, juga hasil revisinya UU No. 32/2004, belum ada
kejelasan dan ketegasan sampai batas mana pemerintah boleh (punya
wewnang) mengatur dan mengintervensi kedaulatan komunitas Masyarakat
Adat. Akibat yang ditimbulkan kemudian adalah tumbuh-subur perilaku
politik pengurasan sumberdaya hutan di kalangan elit politik daerah
otonom, khususnya bupati dan DPRD yang mendapatkan penambahan wewenang
yang cukup besar.
Para bupati dan DPRD berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya,
diantaranya dengan pemberian ijin HPHH skala kecil dan IPK secara
sembrono, dan sebagainya.
Masyarakat Adat dan sumberdaya alam
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama
lebih dari setahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya
kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD tidak otomatis
mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya
alam.
Sementara para bupati sudah memiliki kewenangan yang besar sesuai
dengan UU No. 22/1999 untuk mengeluarkan ijin IHPH dan IPK, di sisi lain
DEPHUT -- sebagai instansi teknis pemerintah pusat -- masih tetap
menggunakan UU No. 41 Tahun 1999 dan peraturan turunannya, khususnya PP
No. 34 Tahun 2002 terbaru yang kontroversial, untuk mempertahankan
kepengurusannya yang mutlak (“kekuasaannya”) atas kawasan hutan,
termasuk untuk memberi dan mencabut ijin HPH dan HPHTI, serta pelepasan
kawasan hutan untuk penggunaan lain.
Realitas ini menunjukkan bahwa “otonomi daerah” dalam pengurusan
sumberdaya alam adalah penambahan wewenang pemerintah daerah tanpa
mengurangi wewenang pemerintah pusat. Hal ini berarti bahwa dengan
“otonomi daerah” maka pemerintah (daerah dan pusat) secara bersama-sama
telah menambah wewenangnya untuk mengeluarkan ijin-ijin baru untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam, sementara kapasitas pemerintah sendiri
untuk mengendalikan kegiatan tambahan dari ijin-ijin baru yang diberikan
tetap sangat rendah.
Peningkatan jumlah dan jenis kegiatan eksplotasi sumberdaya alam yang
demikian pesat yang tidak disertai dengan peningkatan kemampuan
pengendalian atas berbagai kegiatan tersebut telah mendorong tumbuh
suburnya praktek-praktek eksploitasi alam yang melanggar hukum nasional
dan juga hukum adat di seluruh pelosok nusantara, termasuk juga di
kawasan-kawasan konservasi, yang pada akhirnya semakin memperparah
kondisi kerusakan lingkungan di Indonesia. Kalau kecenderungan ini
tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi
daerah tidak akan pernah menjadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju
pengrusakan diri Masyarakat Adat itu sendiri beserta habitatnya. (Opini, AMAN = Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
Sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat
Kalimat yang pendek ini merupakan hasil keputusan para pemimpin komunitas masyarakat adat di nusantara dan peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang pertama pada bulan Maret 1999.
Sebenarnya, jauh sebelum Negara terbentuk, di seluruh pelosok nusantara ini telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang secara mandiri mengurus dirinya dan mengelola tanah dan sumberdaya alam lainnya di habitat masing-masing.
Komunitas-komunitas ini, sesuai dengan perjalanan waktu, telah mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan juga sistem kelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antar warga di dalam komunitas dan juga antara komunitas tersebut dengan alam di sekitarnya. Pembentukan satuan-satuan komunitas ini bisa juga didasarkan atas dasar kewilayahan geografis (habitat atau wilayah hidup bersama), atau keturunan, atau bahkan merupakan perpaduan antara kewilayahan dan keturunan.
Ada komunitas-komunitas yang berubah sangat lambat, bahkan ada diantaranya yang hampir tidak berubah, yaitu masih dengan system social-budaya-politik-religi yang masih utuh, seperti Orang Kanekes (orang luar lebih mengenalnya sebagai Orang Badui) di Banten dan Orang Ama Toa (orang luar lebih mengenal dengan Orang Kajang Dalam) di Bulumba, tetapi ada juga yang berubah dengan cepat dan hampir menyeluruh seperti sebagian besar penduduk di Pulau Jawa dan pantai timur Sumatera.
Penamaan terhadap komunitas dengan sistem sosial politik yang khas ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain:
Siapa Masyarakat Adat
Sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat
Kalimat yang pendek ini merupakan hasil keputusan para pemimpin komunitas masyarakat adat di nusantara dan peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang pertama pada bulan Maret 1999.
Sebenarnya, jauh sebelum Negara terbentuk, di seluruh pelosok nusantara ini telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang secara mandiri mengurus dirinya dan mengelola tanah dan sumberdaya alam lainnya di habitat masing-masing.
Komunitas-komunitas ini, sesuai dengan perjalanan waktu, telah mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan juga sistem kelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antar warga di dalam komunitas dan juga antara komunitas tersebut dengan alam di sekitarnya. Pembentukan satuan-satuan komunitas ini bisa juga didasarkan atas dasar kewilayahan geografis (habitat atau wilayah hidup bersama), atau keturunan, atau bahkan merupakan perpaduan antara kewilayahan dan keturunan.
Masyarakat Adat Nusantara
Sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul (warisan) leluhurnya inilah yang dikenal dengan berbagai penyebutan seperti masyarakat adat, penduduk asli, bangsa pribumi, “indigenous peoples” yang secara umum memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan komunitas lain di sekitarnya. Keberagaman sistem lokal ini bahkan juga muncul dalam satu suku atau sub-suku yang sama. Mereka ini, seiring dengan masuknya berbagai pengaruh dari luar dan juga atas dorongan kebutuhan bersama dari dalam, mengalami perubahan-perubahan secara terus menerus (dinamis).Ada komunitas-komunitas yang berubah sangat lambat, bahkan ada diantaranya yang hampir tidak berubah, yaitu masih dengan system social-budaya-politik-religi yang masih utuh, seperti Orang Kanekes (orang luar lebih mengenalnya sebagai Orang Badui) di Banten dan Orang Ama Toa (orang luar lebih mengenal dengan Orang Kajang Dalam) di Bulumba, tetapi ada juga yang berubah dengan cepat dan hampir menyeluruh seperti sebagian besar penduduk di Pulau Jawa dan pantai timur Sumatera.
Komunitas mandiri secara politik
Komunitas-komunitas pedalaman di luar Pulau Jawa umumnya masih menunjukkan karakteristik sebagai komunitas mandiri secara politik (otonomi asli), walaupun pada tingkat yang berbeda-beda telah menerima/mengadopsi nilai-nilai, aturan-aturan dan kelembagaan sosial baru yang berasal dari luar komunitas. Bahkan di beberapa wilayah kantong di Jawa juga masih ditemukan komunita-komunitas dengan karakter adat ‘asli’ yang relatif kuat, misalnya komunitas masyarakat adat di beberapa ‘kasepuhan’ di Banten Kidul, Orang Tengger dan Orang Using di Jawa Timur serta Sedulur Sikep di Jawa Tengah.Penamaan terhadap komunitas dengan sistem sosial politik yang khas ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain:
- Aceh dikenal Pemukiman/Gampong
- Tanah Batak (Toba) dikenal dengan Huta/Horja/Bius
- Minangkabau dikenal dengan Nagari
- Kepulauan Mentawai dikenal dengan Laggai/Uma
- Sumatera bagian tengah dan selatan dikenal dengan Marga/Kebatinan/Negeri
- pedalaman Kalimantan dikenal dengan Banua/Binua/Ketemenggungan/Balai/Lowu/Lewu
- Tana Toraja dikenal dengan Lembang/Bua’/Penanian
- Kepulauan Kei dikenal dengan Ratchap/Ohoi