Hampir disemua negara saat ini, masalah ketenagakerjaan atau
perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang,
baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat
dari selalu adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap
kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam
problem riil sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi.
Umumnya, negara maju berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan
‘mahalnya’ gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi
(robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi,
sosial bahkan politis. Sementara di negara berkembang umumnya problem
ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka
penganguran, rendahnya kemampuan sumber daya manusia tenaga kerja, tingkat gaji
yang rendah, jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan penguasa
yang merugikan pekerja (buruh), seperti perlakuan buruk, tindak asusila,
penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab dan beribadah dan lain-lain.
Mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diterapkan
selama ini juga banyak mengalami kegagalan. HIP yang menekankan hubungan
kemitraan berasaskan kekeluargaan, cenderung untuk mengikat kesetiaan
buruh dengan dalih kesetiaan pada ideologi. Pada pelaksanaannya HIP justru
telah mengebiri berbagai hak kaum buruh, lebih memenangkan kepentingan
pengusaha.
Hal tersebut diatas dapat digambarkan bahwa banyak
permasalahan di negara ini khususnya mengenai ketenagakerjaan. Di sini penulis
beranggapan bahwa masalah yang timbul mengenai ketenagakerjaan sangat
berhubungan sekali dengan perusahaan yang memperkerjakan para kaum buruh. Hasil
didapatkan adanya sangkaan perbuatan hukum yang dilakukan pada kaum buruh
adalah berasal dari suatu korporasi sebagai perusahaan yang memperkerjakan.
Oleh karena itu perlu adanya identifikasi lebih khusus mengenai kejahatan
korporasi yang di lakukan oleh korporasi terhadap kaum buruh tersebut.
Guiding Principle of Crime Prevention and Criminal Justice in
the Context of Development and a New International Economic Order yang dihasilkan kongres PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) Ketujuh pada tahun 1985 di Milan Italia,
mengingatkan perlunya perlindungan khusus terhadap bentuk-bentuk kelalaian
(yang dapat terjadi dalam aktivitas korporasi) yang bersifat kriminal dalam
bidang kesehatan masyarakat (public health), kondisi atau pesyaratan
keamanan tenaga kerja (labour conditions), eksploitasi sumber-sumber
alam dan lingkungan (exploitation of natural resources and environment),
serta persyaratan pengadaan barang dan pelayanan konsumen (the provision
goods and services of consumers). Peninjauan kembali atas perbuatan yang
dinyatakan dilarang dan merupakan tindak pidana korporasi merupakan hal yang
perlu karena perubahan nilai-nilai menyebabkan sejumlah perbuatan yang
sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak dicela dan tidak dituntut pidana
berubah menjadi perbuatan yang harus dicela dan dipidana.
Kejahatan korporasi terhadap buruh atau tenaga kerja adalah yang berupa
perbuatan-perbuatan yang mengabaikan keamanan dan keselamatan kerja buruh,
karena itu berarti mengabaikan apa yang menjadi kepentingan dari para buruh
yang bersangkutan. Buruh yang setiap hari bekerja dalam lingkungan kerja
tertentu, dengan debu yang berterbangan, asap pengecoran dalam produksi yang
selalu dihirup, suara gemuruh dari mesin-mesin penggilingan dan sebagainya,
dalam waktu tertentu akan menimbulkan penurunan kualitas kesehatan buruh.
Perhatian mengenai lingkungan kerja atau ruang kerja dalam hubungannya dengan
kesehatan dan keselamatan buruh dalam menjalankan kegiatan produksi suatu
perusahaan, bukanlah hal yang dicari-cari. Sebab, dalam kegiatan produksi,
gangguan kesehatan dan atau kecelakaan setiap saat dapat terjadi, yang dalam
hal ini disebabkan oleh bahan-bahan bakar yang digunakan, mesin-mesin yang
digunakan dan proses pengolahan serta faktor-faktor penyebab lainnya. Hal ini
sengaja dikemukakan atas dasar pertimbangan sebagai berikut (Hardjasoemantri,
1988:309) : (a) setiap tenaga kerja (buruh) berhak mendapat perlindungan atas
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan
meningkatkan produksi serta produktivitas nasional, (b) setiap orang lainnya
yang berada di tempat kerja perlu terjamin keselamatannya dan (c) setiap sumber
(bahan) produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien.
Dari segi peraturan perundang-undangan,
sebenarnya sudah cukup banyak aturan-aturan yang memberikan perlindungan kepada
buruh. Namun masih banyak perusahaan-perusahaan (korporasi) yang tidak
menghiraukan akan keamanan dan keselamatan kerja buruhnya. Hal ini bisa
merupakan kesengajaan atupun kealpaan korporasi. Apabila hal ini merupakan
kesengajaan, tentunya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Berdasarkan
penjelasan materi di atas peluang kejahatan yang dilakukan oleh pihak korporasi
adalah bersifat ke alpaan dan efek dari pekerjaan buruh tersebut. Lebih dalam
penulis membahas tentang kejahatan yang mungkin bisa secara langsung
mengakibatkan kerugian pada kaum buruh. Menurut penulis di sini justru lebih
pada identifikasi dari pihak korporasi yang bersifat sebagai tindak pidana yang
di lakukan oleh pihak yang memiliki jabatan di atas kaum buruh atau bisa
sebagai pemilik perusahaan. Sebelum mengarah pada hal tersebut penulis ingin
menerangkan tentang pengertian serta faktor-faktor yang ada pada kejahatan oleh
pihak-pihak tersebut. Seperti halnya sebagai berikut :
Ciri-ciri White Collar Crime (WCC):
1. Dampak kejahatan yang luas
2. Dilakukan oleh oknum-oknum pejabat/orang terpandang
3. Implementasi kejahatan dengan mnggunakan
jabatannya
Faktor-faktor:
1. Sikap untuk pejabat atau orang terpandang yang lemah
2. Kurangnya sarana kontrol atau pengawasan dari
pemerintah
3. Diabaikannya profesionalitas serta etos kerja
4. Rumitnya sistem birokrasi
5. Penegakan hukum yang sempoyongan
6. Carut-marutnya hukum serta intervensi politik
dan kepentingan
Adanya WCC pada kejahatan korporasi terhadap buruh yang
dampaknya secara langsung dapat di lihat pada UU No. 3 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dalam pasal 53 yang menyatakan bahwa, “Segala hal dan/atau
biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha”. Jika di hubungkan dengan pasal 55
yang menyatakan, “Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah,
kecuali atas persetujuan para pihak”. Menurut hemat penulis kedua pasal
tersebut justru memberikan peluang kepada pihak pengusaha untuk melakukan
kejahatan terhadap buruh dengan motif campur-aduk hukum serta intervensi politik
dan kepentingan. Dilihat dari adanya peluang yang disebabkan akbat pemberian
tanggung jawab penuh atas segala hal dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian
hubungan kerja pada pihak pengusaha sehingga dapat menyebabkan penyelewengan.
Penanggulangan Kejahatan Korporasi Terhadap Kaum Buruh
Agar penanggulangan kejahatan korporasi dapat berhasil, maka upaya yang diambil
harus mendasarkan pada anatomi atau karakteristik kejahatan korporasi itu
sendiri.
Pasal 5 ; Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama
tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 40 ayat 1 : Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan
kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan
dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi
tepat guna.
Pasal 55 : Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali
dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
Pasal 53 : Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung
jawab pengusaha.